RI Butuh Rp 4.520 T Tangani Perubahan Iklim, Duitnya dari Mana?

RI Butuh Rp 4.520 T Tangani Perubahan Iklim, Duitnya dari Mana?

Anisa Indraini - detikFinance
Rabu, 14 Sep 2022 18:10 WIB
8 Foto Perubahan Iklim yang Bikin Merinding
Ilustrasi/Foto: Getty Images
Jakarta -

Indonesia salah satu negara yang memiliki risiko paling besar terkena dampak perubahan iklim. Berdasarkan data Bank Pembangunan Asia, perubahan iklim akan memangkas Pertumbuhan Domestik Bruto (GDP) negara-negara di Asia Tenggara sebesar 11% pada akhir abad ini.

Presiden Direktur HSBC Indonesia Francois de Maricourt mengatakan pihaknya memberikan komitmen penuh untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam melakukan transisi energi serta pembangunan berkelanjutan.

"Kami sangat senang bahwa transisi energi menjadi salah satu prioritas pemerintah Indonesia pada Presidensi G20. Kami juga mendukung sejumlah inisiatif dan juga kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mempercepat transisi pembangunan yang rendah karbon," kata Francois dalam acara HSBC Summit 2022 bertema 'Powering the Transition To Net Zero: Indonesia's Pathway for Green Recovery', Rabu (14/9/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Francois menyebut butuh modal yang besar untuk mempercepat transisi energi. Tidak hanya meningkatkan investasi di sektor teknologi yang rendah karbon, tetapi juga memberikan insentif ke sektor lain agar bisa menjadi lebih hijau dengan biaya yang tidak mahal.

Berdasarkan data dari Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia memerlukan pembiayaan sebesar Rp 4.520 triliun untuk melakukan aksi mitigasi dalam peta jalan NDC. Dana sebesar itu tidak semuanya bisa dipenuhi oleh APBN, oleh karena itu perlu ada kolaborasi antara institusi keuangan swasta dan juga negara serta juga aliansi keuangan global seperti Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).

ADVERTISEMENT

"Sebagai bank yang mempunyai banyak cabang di Asia, HSBC berkomitmen untuk mendukung semua nasabah kami untuk melakukan transisi ke energi yang lebih bersih, bekerja sama dengan regulator dan juga industri banyak sektor untuk mempercepat transisi pembiayaan dan mendukung pembangunan berkelanjutan," ujar Francois.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Indonesia bisa kehilangan potensi ekonomi Rp 112,2 triliun atau 0,5% dari GDP pada 2023 akibat krisis perubahan iklim.

Sri Mulyani mengatakan tanda-tanda terjadinya krisis perubahan iklim dilihat dari kenaikan emisi gas sebesar 4,3% dari 2010-2018, suhu udara yang naik 0.03 derajat celcius tiap tahun, serta tinggi permukaan laut yang naik 0,8-1,2 cm.

"Pada 2030, Indonesia bisa kehilangan potensi ekonomi akibat krisis perubahan iklim sebesar 0,6-3,45% dari GDP. Salah satu institut di Swiss membuat laporan bahwa dunia akan kehilangan potensi ekonomi hingga 10% jika kesepakatan Paris Agreement untuk mencapai emisi nol pada 2050 tidak tercapai," jelas Sri Mulyani.

Pemerintah, kata Sri Mulyani, berkomitmen mengurangi emisi lewat kesepakatan Paris Agreement yaitu menurunkan 29% emisi C02 dengan upaya sendiri serta 41% CO2 dengan bantuan Internasional pada 2030.

"Untuk mencapai target tersebut perlu sumber dana yang besar yaitu sekitar Rp 3.461 triliun atau Rp 266 triliun per tahun. Sedangkan APBN hanya mengalokasikan Rp 89,6 triliun per tahun atau 3,6% dari total pengeluaran pemerintah. Karena itu untuk bisa mencapai target pembangunan rendah karbon dan nol emisi, perlu bantuan daru banyak pihak," ungkap Sri Mulyani.

Sri Mulyani mengakui proses transisi tidak mudah dan akan ada banyak implikasi. Kata dia, di negara lain proses transisi ke ekonomi hijau menghadapi banyak tantangan khususnya di sektor energi.

"Transisi bisa menimbulkan biaya hidup yang meningkat di tahap awal. Ini semakin menantang ketika ekonomi global tengah menghadapi laju inflasi yang tinggi dan juga masih rentan setelah bangkit dari pandemi serta memunculkan sejumlah pilihan politik yang tidak mudah," jelas Sri Mulyani.

(aid/ara)

Hide Ads