Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan mencatat total piutang negara sebesar Rp 170,23 triliun. Dari jumlah tersebut, terbanyak berasal dari warisan krisis moneter 1997 yakni Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 110,45 triliun.
Direktur Perumusan Kebijakan Kekayaan Negara DJKN Kementerian Keuangan Encep Sudarwan mengatakan jumlah piutang tersebut berasal dari 45.524 berkas yang sudah terkumpul dan masuk ke pemerintah. Dari jumlah itu ada yang berasal dari badan hukum atau perorangan.
"Yang namanya berutang ke negara bisa pribadi, bisa PT. Jadi 45.524 berkas kalau perorangan itu sama jumlahnya, tapi kalau PT yang berutang, di PT itu ada 5 direksi ya semuanya menjadi penanggung utang," kata Encep dalam Bincang Bareng DJKN, Jumat (16/9/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jumlah piutang tersebut, kata Encep sudah dilakukan berbagai tindakan. Terutama BLBI yang jumlahnya besar sudah dibentuk Satgas khusus sejak 2021 untuk dilakukan penagihan.
Meski begitu, diakui memang selama penagihan piutang ini pemerintah sering terkendala karena payung hukum sudah usang. Maklum, aturannya dibuat puluhan tahun lalu yakni melalui Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara.
Oleh karenanya, dibuatlah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 tentang Pengurusan Piutang Negara oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 31 Agustus 2022.
Hadirnya PP ini, kata Encep, akan semakin memperkuat tugas dan kewenangan Satgas BLBI dalam melakukan penagihan yang selama ini sudah dijalankan.
"Dengan PP ini satgas bisa melakukan berbagai upaya pembatasan. Apalagi kalau mau sita harta kekayaan lain. Bagaimanapun legal formal ini penting," jelasnya.
Di dalam aturan tersebut, memang disebutkan bahwa pemerintah bisa memblokir dan menyita aset pemilik utang ke negara jika tak menunjukkan niat untuk membayar. Juga pemerintah, bisa menagih utang kepada istri/suami, anak hingga cucu, jika pemilik utang meninggal.
"Kita bisa melakukan penyitaan harta lain, ini dikuatkan dengan PP. Dengan PP ini ditegaskan kita bisa melakukan itu (penyitaan). Jadi ini memberikan penguatan," imbuhnya.
Namun, aturan tersebut dikatakan tidak hanya berlaku untuk kasus BLBI, tapi juga piutang negara lainnya. "Ini (PP 28) bisa digunakan untuk semua urusan piutang yang diberikan ke PUPN. Ini bisa untuk memaksa, mencegah dan lelang," tegasnya.
(aid/das)