Semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo genap berusia 16 tahun pada 29 Mei 2022 kemarin dan berjalan masuk 17 tahun. Meski demikian hingga kini semburan lumpur masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Artinya semburan lumpur panas di wilayah Sidoarjo ini belum berhenti sejak pertama kali menyembur pada 2006 silam. Lalu bagaimana kronologi bencana lumpur Lapindo itu dapat terjadi?
Diketahui bahwa sebelum menyemburkan lumpur, PT Lapindo Brantas sempat melakukan pengeboran mencapai 8.500 kaki pada tanggal 18 Mei 2006. Selama proses pengeboran ini pihak perusahaan sempat diingatkan soal pemasangan pipa selubung yang harus dilakukan sebelum pengeboran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terlepas dari proses pengeboran, lumpur ini juga diketahui menyembur dua hari setelah gempa bumi di Yogyakarta. Namun hingga saat ini belum ada pembuktian secara ilmiah apakah gempa tersebut turut mempengaruhi semburan lumpur. Meski demikian banyak orang yang percaya kedua bencana ini saling terkait.
Kemudian barulah pada 29 Mei 2006 bencana itu datang. Lumpur panas pertama kali menyembur pada sekitar pukul 05.30 WIB. Warga Siring pada pukul 06.00 WIB lantas mencium bau menyengat gas. Jarak pemukiman warga dengan lokasi yakni sekitar 150 meter.
Semburan lumpur ini diketahui berada dari sumur Banjarpanji 1, Porong, Sidoarjo. Atau tepatnya di bagian dari kegiatan pengeboran eksplorasi gas Blok Brantas milik PT Lapindo Brantas.
Semburan lumpur panas ini ternyata ternyata tak bisa dikendalikan dan luberannya ke mana-mana. Luberan lumpur bahkan sampai menggenangi ruas jalan tol Surabaya-Gempol sehingga mengakibatkan ditutup.
Untuk menanggulangi luberan lumpur Lapindo, tanggul kemudian didirikan guna menahan agar tak masuk ke pemukiman warga. Namun pada tanggal 10 Agustus 2006 sejumlah tanggul jebol dan membanjiri pemukiman warga.
Presiden RI kala itu, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tanggal 18 April kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Kala itu dibentuk pula Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo.
Meski demikian, hingga tahun 2008, semburan lumpur masih terus tak bisa dihentikan serta meluas. Tercatat per harinya lumpur yang mampu menyembur sekitar 100 ribu meter kubik.
Sekitar 25 ribu jiwa dari 8 desa di 3 kecamatan terpaksa harus kehilangan lahan dan rumahnya karena tenggelam dan hilang karena semburan lumpur. Mereka juga dipaksa untuk mengungsi untuk menghindari dampak dari luberan lumpur panas.
Selain tanggul, solusi jangka pendek juga pernah dilakukan untuk mengurangi debit lumpur yang terus mengalir dan memenuhi tanggul. Salah satunya yakni mengalirkan aliran lumpur ke sungai Porong. Opsi ini kemudian dilakukan pada tahun 2010.
Sedangkan untuk menjawab gejolak warga korban lumpur, pada bulan Juli 2015, pemerintah kemudian meminjamkan dana sebesar Rp 773,38 miliar kepada Grup Bakrie.
Dana ini dialokasikan untuk ganti rugi dan pembelian tanah milik warga terdampak. Dana talangan ini wajib dikembalikan oleh Grup Bakrie selambat-lambatnya 4 tahun dengan bunga 4,8 persen per tahun dari jumlah pinjaman.
Ganti rugi korban baik warga maupun perusahaan yang terdampak ternyata masih menjadi persoalan hingga kini. Hal ini kemudian menjadi persoalan berlarut-larut hingga kini.
Akibat bencana ini, Sebanyak 10.426 unit rumah warga dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur Lapindo. Sedangkan hingga saat ini persoalan rugi korban baik warga maupun perusahaan yang terdampak ternyata juga masih belum kunjung rampung.
Simak juga Video: Pemerintah Sebut Ganti Rugi yang Belum Dibayar Lapindo Rp 781 Miliar
(fdl/fdl)