Cara Hidup Sederhana di Gubuk Pesisir Pantai ala Petani Rumput Laut

Tapal Batas

Cara Hidup Sederhana di Gubuk Pesisir Pantai ala Petani Rumput Laut

Yudistira Imandiar - detikFinance
Selasa, 04 Okt 2022 13:31 WIB
Kepulauan Tanimbar
Foto: detikcom/Agung Pambudhy
Kepulauan Tanimbar -

Jika orang-orang kebanyakan merantau menuju kota besar untuk mencari peruntungan, masyarakat Desa Adaut, Kecamatan Selaru, Kabupaten Kepulauan Tanimbar punya tradisi merantau yang unik. Mereka merantau meninggalkan rumah dan keluarga untuk tinggal di pesisir pantai.

Masyarakat Adaut menyebut tradisi tersebut sebagai 'tnyafar'. Mereka datang ke pesisir pantai, membangun rumah semi permanen dan menetap di sana. Mayoritas warga yang melakukan 'tnyafar' berprofesi sebagai nelayan atau petani rumput laut.

Tradisi itu sudah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun. Jika berkunjung ke salah satu area pesisir pantai di Adaut, bisa ditemukan jajaran rumah-rumah kayu tempat tinggal para warga. Ada ratusan rumah di sana layaknya sebuah dusun. Secara administrasi, mereka masih warga Adaut, dan mereka menyebut tempat tinggal di pesisir pantai itu sebagai 'Kampung Tnyafar'.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beatrix Srue yang menjadi sekretaris di 'Kampung Tnyafar' menuturkan dirinya dan warga lain memilih tinggal di pesisir pantai agar lebih mudah untuk bekerja. Karena tinggal di dekat pantai, mereka bisa leluasa mengontrol rumput laut yang dibudidaya, lalu menjemur hasil panen di depan rumah.

Kepulauan TanimbarKepulauan Tanimbar Foto: detikcom/Agung Pambudhy

"Tidak ada tnyafar di tempat lain Pak, cuma di sini di Adaut. Biasanya nelayan tinggal di kapal lalu pulang, tapi ini menetap tinggal di sini. Menghemat pengeluaran minyak (bensin) untuk pulang pergi ke Adaut," ungkap Beatrix dalam perbincangan dengan detikcom beberapa waktu lalu.

ADVERTISEMENT

Ia mengatakan warga tnyafar bisa langsung melaut sejak pagi hari. Di siang hari, biasanya mereka kembali ke rumah untuk istirahat lalu lanjut melaut lagi sampai sore.

"Kalau di tempat lain biasanya (nelayan) pergi pagi, pulang sore. Tapi di sini menetap, bisa pergi pagi kerja jam 7 sudah sarapan lalu ke laut. Sampai siang, pulang istirahat sebentar. Kalau sore ingin balik lagi ke laut tinggal balik dan dekat. Jam 6 sore sudah bisa istirahat," tutur Beatrix.

Ia mengaku betah tinggal di Kampung Tnyafar. Meskipun hidup dalam kesederhanaan, rumah kayu beratap daun kelapa kering, tanpa listrik, dan makan seadanya tapi dia dan warga lain bisa memperoleh penghasilan yang cukup besar dari hasil nelayan atau budidaya rumput laut.

"Daripada tinggal di kampung kita tidak punya uang, lebih baik kita di sini. Sudah nyaman di sini," sebut Beatrix.

Diakui Beatrix, ada juga warga Adaut yang tak betah melakukan tnyafar. Biasanya, mereka hanya datang musiman saat harga rumput laut tinggi lalu kembali ke Adaut jika harganya dianggap tak menguntungkan.

"Ketika harga rumput laut bagus, banyak orang suka datang. Tapi ketika harga turun, yang tidak betah pulang. Tapi kita tetap, biar harga bagus atau tidak betah-betah saja tetap di Tnyafar. Suka ada yang musiman," jelas Beatrix.

Segarnya Budidaya Rumput Laut, Panen Per 1,5 Bulan Hasilkan Rp 30 JutaSegarnya Budidaya Rumput Laut, Panen Per 1,5 Bulan Hasilkan Rp 30 Juta Foto: detikcom/Agung Pambudhy

Beatrix bercerita ia mulai melakukan tnyafar sejak 2017. Sebelumnya, ia berjualan makanan matang. Tapi, penghasilannya tak mencukupi kebutuhan keluarga. Akhirnya, ia bersama suami melakoni budidaya rumput laut.

"Hasil dari rumput laut sudah mencukupi kebutuhan keluarga. (Lebih betah di Tnyafar), karena di Adaut kita hanya bisa dapat Rp 100-200 ribu dalam satu hari, tapi di sini rumput laut satu bulan bisa panen dapat banyak. Lumayan apalagi kalau kondisi rumput laut masih bagus," ungkap Beatrix.

"Paling tinggi dalam satu bulan bisa dapat Rp 12-15 juta (dari rumput laut)," cetus Beatrix.

Beatrix mengungkapkan awalnya untuk modal budidaya rumput laut ia mengajukan kredit ke bank. Ia pun mendapatkan pinjaman Rp 5 juta dari KUPEDES BRI.




(ega/ega)

Hide Ads