Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey membeberkan, pemerintah tak kunjung membayar utang hampir mencapai Rp 350 miliar kepada pengusaha ritel. Utang tersebut merupakan selisih harga keekonomian minyak goreng (migor) curah dengan harga jualnya (rafaksi) pada awal 2022.
Pada bulan Januari, pemerintah meminta para pengusaha ritel untuk menjual migor curah dengan harga Rp 14 ribu. Roy mengatakan, pada saat itu harga keekonomian di pasar sebesar Rp 19-20 ribu. Karenanya, ada selisih harga tiap kemasan mencapai Rp 5-6 ribu.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 1 Tahun 2002, selisih tersebut akan ditanggung oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS). Namun hingga kini, utang tersebut belum juga dibayarkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Rafaksi minyak goreng yang sudah kita commit dan sudah kita jalankan sesuai dengan penugasan pada awal Januari 2022 sampai hari ini belum dibayar oleh pemerintah," kata Roy saat dihubungi detikcom, Selasa (15/11/2022).
Roy menyebut, utang tersebut hampir mencapai Rp 350 miliar dan sudah hampir 10 bulan belum dibayarkan, sejak diberlakukannya di 19 s.d 31 Januari 2022 silam atau sebelum penetapan harga eceran tertinggi (HET) di 1 Februari.
"Sampai hari ini belum dibayarkan, sementara itu kita perlu untuk menjaga eksistensi dan kelangsungan ritel memasuki 2023. Kita penting untuk bertahan hidup dan berusaha, sekaligus memasuki 2023 dengan segala tantangannya," lanjutnya.
Menanggapi perihal tersebut, Plt Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian perdagangan (Kemendag) Syailendra, mengatakan hingga saat ini pihaknya masih dalam tahap pengecekan kembali di lokasi. Menurutnya, angka utang tersebut tidaklah sedikit sehingga perlu kehati-hatian penuh.
"Jadi kan ini mengeluarkan uang besar gitu kan saya juga harus berhati-hati. Jadi itu sudah dicek oleh surveyor yang ditunjuk oleh BPDPKS, saya juga sudah minta BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). Kan harus mengikuti aturan, saya nggak punya kemampuan untuk melakukan validasi," katanya kepada detikcom.
Meski dana tidak diberikan secara langsung dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD), Syailendra menekankan, pembayaran tersebut harus akuntabel. Apalagi, dalam hal memastikan jumlah minyak goreng yang terdistribusi.
"Kan begini, itu kan diverifikasi dulu, validasi dulu, bener nggak terdistribusi segitu itu, dicek lagi. Kan nggak sembarangan ngomong 'Saya sudah distribusiin 100'. Bener nggak 100?," kata Syailendra.
"Saya mau minta BPDPKS membayar itu harus akuntabel. Ya boleh aja kalau mau desak saya. Kalau saya nggak yakin, nanti repot, kan perlu keyakinan penuh. Makanya saya minta tolong BPKP juga ngecek," lanjutnya.
Lebih lanjut Syailendra juga menyampaikan, tidak ada tenggat waktu khusus untuk kapan pembayaran ini harus dilakukan. yang terpenting ialah proses verifikasi dan validasinya selesai dengan tuntas. Bila sudah, dana akan segera dibayarkan.
"Yang penting akuntabel, benar-benar semuanya terverifikasi, tervalidasi dengan baik. Kalau sudah ya dibayar, karena itu hak orang, ngapain saya tahan-tahan. Kalau saya yang penting kepentingan saya itu benar," tandasnya.
(zlf/zlf)