Ahli ekonomi dan bisnis Universitas Indonesia Tjahjanto Budisatrio menyayangkan tidak adanya batasan BPA dan masa pakai galon pada parameter uji mutu Standar Nasional Indonesia (SNI) pada AMDK. Dia kemudian menyebut industri AMDK, khususnya galon, sebagai industri yang tak diatur atau unregulated industry.
Diketahui, Bisfenol A yang disingkat BPA, merupakan salah satu senyawa kimia yang banyak dipakai untuk membuat polikarbonat, termasuk kemasan galon AMDK. Senyawa ini disebut dapat berdampak buruk bagi kesehatan, mulai dari mengganggu sistem hormon, hingga menyebabkan gangguan kesuburan, kelainan pada janin, dan penyakit kardiovaskular.
"Ini problem. Ketika tak diregulasi, industri kayak hukum rimba. Yang menguasai akan makin semena-mena," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (30/11/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal tersebut ia sampaikan pada diskusi dengan FMCG Insights di Jakarta beberapa waktu lalu.
Sebelumnya Pengawas Perdagangan di Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa, Kementerian Perdagangan, Binsar Yohanes M Panjaitan menyampaikan migrasi BPA tidak dipersyaratkan dalam pengujian mutu SNI terhadap galon polikarbonat (plastik keras).
Dari daftar parameter uji yang disampaikan, SNI, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 69 Tahun 2018, juga tidak ada kriteria terkait masa atau usia pakai galon polikarbonat.
Menurut Tjahjanto, selain pelabelan pada AMDK galon polikarbonat, seharusnya Kementerian Perdagangan juga memasukkan BPA ke dalam daftar parameter uji mutu SNI Mengingat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melalui uji sampel di lapangan telah menemukan bukti migrasi BPA.
"Harusnya ada BPA dalam SNI karena BPA kan sudah ada ambang batas amannya," katanya.
Lebih lanjut dia menjelaskan ambang batas aman migrasi BPA sebesar 0,6 bpj (bagian per juta), sebagaimana ditetapkan di dalam peraturan BPOM. Mempertimbangkan hasil uji lapangan yang dilakukan BPOM, dia menilai BPA harus dimasukkan ke dalam daftar kriteria uji SNI.
Diketahui berdasarkan hasil uji lapangan BPOM terdapat 3,4 persen sampel di sarana distribusi dengan tingkat migrasi BPA yang sudah melampaui 0,6 bpj atau sudah melanggar aturan. Dalam rentang migrasi 0,05 bpj (ambang batas aman standar Eropa) hingga 0,6 bpj (ambang batas aman standar Indonesia), ditemukan 46,97 persen sampel di sarana distribusi dan 30,91 persen sampel di sarana produksi.
Lalu soal tidak adanya ketentuan mengenai usia pakai galon polikarbonat, Tjahjanto memandang hal itu dapat merugikan konsumen. Tidak hanya terkait potensi migrasi BPA yang semakin besar, konsumen juga merugi karena membeli galon yang bisa jadi bukan galon baru tapi yang sudah diproduksi bertahun-tahun lalu.
Dia pun mencontohkan seorang konsumen yang telah membeli galon untuk pertama kalinya pada 2022 dengan harga Rp50.000. Tidak ada jaminan konsumen tersebut akan memperoleh galon yang diproduksi pada tahun yang sama, terutama ketika menukar galon.
"Sangat mungkin dia mendapatkan galon yang diproduksi pada 2014, misalnya. Sehingga nilai yang diterima konsumen saat dibayarkan pada 2022 ditukar dengan produk galon 2014 yang mempunyai nilai lebih rendah daripada yang seharusnya bisa diperoleh," tuturnya.
Dikatakannya hal itu bisa terjadi karena tidak ada ketentuan yang dipublikasikan terkait sampai kapan galon-galon polikarbonat bisa dipakai.
"Tidak ada jaminan konsumen memperoleh galon yang diproduksi pada tahun pembelian, apalagi jaminan galon itu aman dari migrasi BPA karena tidak ada ketentuannya dalam SNI," papar Tjahjanto.
Tjahjanto menekankan apabila sebuah industri tidak diregulasi (unregulated industry), maka dapat memicu persaingan yang semakin tidak sehat. Jika struktur pasar sudah oligopoli, seperti yang terjadi dalam pasar AMDK, maka industri ini akan mengarah ke tingkat konsentrasi yang lebih tinggi dan dapat menjadi kondisi monopoli. Apalagi jika penguasa pasar melakukan lock in atau penguncian kepelangganan. Dengan menerapkan model pembelian galon yang bisa ditukar dengan galon lagi, yang ini merupakan salah satu bentuk rintangan untuk masuk (barrier to entry) ke dalam industri.
"Maka, di sini pemerintah dan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) harus berperan. Pemerintah melakukan regulasi melalui kewajiban pelabelan galon dan memasukkan BPA ke dalam daftar parameter uji mutu SNI," tegasnya.
Di sisi lain, Koordinator Kelompok Substansi Standardisasi Bahan Baku, Kategori, Informasi Produk, dan Harmonisasi Standar Pangan Olahan BPOM Yeni Restiani mengungkapkan migrasi BPA sangat berkaitan dengan penggunaan berulang wadah kemasan pangan. Dia menilai potensi itu makin besar jika galon digunakan ulang tanpa batas masa atau usia pakai.
Dijelaskannya galon yang terus dicuci dengan air bersuhu lebih dari 75 derajat celcius dan disikat bisa memicu migrasi. Hal ini semakin berbahaya apabila galon ulang disimpan di bawah sinar matahari langsung atau dekat dengan benda-benda berbau tajam dalam waktu yang lama.
"Itu adalah faktor-faktor yang memengaruhi risiko migrasi BPA ke produk pangan," kata Yeni.
(ega/ega)