Gelombang Krisis Datang 'Keroyokan', Ekonomi Global Makin Kewalahan

Gelombang Krisis Datang 'Keroyokan', Ekonomi Global Makin Kewalahan

Ilyas Fadilah - detikFinance
Senin, 05 Des 2022 16:03 WIB
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi.
Ilustrasi/Foto: dok. detikcom
Jakarta -

Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia menggelar seminar ekonomi internasional The 20th Economix. Seminar ekonomi terbesar ini mengangkat tema Redefining the Pathways of Global Cooperation: Striving towards Resilience amidst Economic and Political Crises.

Dalam acara ini, Richard Kozul-Wright selaku Director of the Globalization and Development Strategies Division in United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) mengingatkan kondisi ekonomi global mengalami krisis berlipat ganda.

Ini terjadi akibat dampak jangka panjang pandemi dan konflik geopolitik Rusia-Ukraina. Pendapatan di bawah tingkat 2019, tingkat pertumbuhan melemah, biaya hidup meningkat dan rantai pasok terdistorsi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagi pemerintah, anggaran mereka semakin tertekan. Belum lagi krisis iklim yang semakin mengancam, khususnya untuk negara-negara yang tidak punya kemampuan fiskal menghadapinya.

Sementara itu, Coordinating Minister for Economic and Social Policies of Singapore Tharman Shanmugaratnam mengungkapkan pandangannya soal permasalahan ekonomi. Ia menyebut permasalahan ekonomi di semua sektor datang secara bersamaan.

ADVERTISEMENT

"Permasalahan ekonomi dalam semua sektor datang bermunculan secara bersamaan di seluruh negara. Permasalahan tersebut saling berkaitan antara satu sama lain sehingga krisis antar sektor dan negara tidak dapat terelakan terjadi," katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (5/12/2022).

Ia menyebut sistem ekonomi dunia sedang terganggu. Inflasi yang terjadi di seluruh negara tanpa terkecuali mengakibatkan terjadinya resesi, bahkan terdapat ancaman mengenai terjadinya resesi yang besar di tahun mendatang. Semua negara harus membuat kebijakan moneter dan fiskal yang tepat untuk mengatasi krisis ini.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Lalu, Andrea Goldstein sebagai Head of Indonesia/India/Tunisia Desk at the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memaparkan sejumlah permasalahan dunia saat ini.

"Dunia sedang dihadapkan dengan beberapa permasalahan, energy price shock yang besar, pasar tenaga kerja yang semakin ketat, dan upah riil yang semakin menurun. Pertumbuhan ekonomi baik dari tiap negara maupun secara global diproyeksikan mengalami penurunan pada tahun 2023," jelasnya.

Benua Eropa dihadapkan dengan risiko kekurangan cadangan energi pada musim salju tahun ini dan tahun depan. Rumah tangga konsumen juga dihadapkan dengan meningginya bunga cicilan rumah yang mengikuti tren suku bunga. Selain itu, banyak negara low-income memiliki risiko untuk kesulitan membayar utang di tengah keadaan perekonomian yang seperti ini.

Ia menilai kebijakan moneter seharusnya tetap diperketat untuk memerangi inflasi. Di sisi fiskal, kebijakan yang diterapkan harus diupayakan untuk lebih tepat sasaran. Selanjutnya, menjaga perekonomian tetap terbuka (dalam konteks multilateral) akan membantu untuk me-restore pertumbuhan ekonomi.

James P.Walsh selaku Perwakilan Residen Senior untuk Indonesia di International Monetary Fund (IMF), menjelaskan bahwa saat ini di Indonesia kebijakan moneter sedang di tengah kesulitan, sedangkan kebijakan fiskal tetap dalam kondisi yang bijaksana.

Respon kebijakan fiskal terhadap pandemi dapat terbilang efektif melalui program PEN dan anggaran belanja yang ditargetkan, kebijakan fiskal yang dilakukan telah mendukung rumah tangga rentan yang terkena dampak pandemi.


Hide Ads