Pengamen kini sudah naik kelas. Biasanya kita temui pengamen hanya berisi satu atau dua orang menggunakan gitar dan bernyanyi, kini fenomena tersebut diramaikan dengan hadirnya pengamen yang benar-benar niat.
Ya, disebut pengamen niat karena mengeluarkan modal dan benar-benar serius menggeluti profesi ini. Salah satunya adalah sekelompok pengamen yang menggunakan angklung dan sejumlah alat musik lain. Lokasi mangkal mereka pun sama: di lampu merah atau di pinggir jalan yang biasanya macet.
detikcom berkesempatan berbincang dengan para pengamen ini salah satunya di kawasan TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Tepatnya sebelum pintu masuk TPU, di sebelah kiri jalan arah Ciputat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kelompok pengamen itu bahkan kompak dengan seragam batik, menambah kesan 'niat' mereka untuk bekerja. Memang tidak semua bermain musik, ada juga dua orang bertugas untuk berdiri di tengah jalan yang mengumpulkan uang dengan membawa ember berukuran kecil
Uniknya pengamen angklung itu ternyata punya nama sendiri. Ketua dari kelompok pengamen bernama Sandi menamai kelompoknya itu Bina Remaja. Ia bercerita nama itu diberikan langsung oleh ayahnya sendiri.
"Kita punya nama grup, Bina Remaja. Itu nama dari bapak saya sendiri. Walaupun yang main tua-tua, tapi itu pemberian orang tua sendiri," ujarnya saat berbincang dengan detikcom beberapa waktu lalu.
Kelompok angklung ini sudah berjalan 4 tahun. Anggota Bina Remaja terdiri kurang lebih dari 10 orang. Hanya saja dibagi menjadi dua kelompok, yang masing-masing terdiri dari 5 orang.
Sandi bercerita dahulu dia sempat bekerja menjadi kuli bangunan. Tak lama, dirinya diajak oleh temannya untuk ngamen dengan angklung. Melihat risiko yang tidak sebesar kuli bangunan, Sandi pun tertarik untuk mengamen angklung.
Awalnya, Sandi mencoba ikut dengan temannya yang menjadi pengamen angklung di Cirebon. Tak lama kemudian, melihat pemasukan dari mengamen angklung mencukupi, dia akhirnya membentuk kelompok sendiri.
Ia sampai jual motor demi membeli satu set angklung seharga Rp 5 juta. Pada waktu itu, dia memulai ngamen angklung sendiri dengan beberapa temannya sekitar tahun 2018 lalu.
Selain angklung, Sandi juga membeli alat musik lainnya seperti gendang dan bedug. Tak lupa untuk menarik perhatian masyarakat, pakaian pengamen angklung ini menggunakan seragam yang kompak.
"Mengganti biaya modal satu set angklung dan alat musik jadi sewa sama saya, satu set dengan seragam juga. Sewanya Rp 50.000 sehari," ungkapnya.
Kemudian, pendapatan dari pengamen angklung ini sehari bisa mendapatkan sekitar lebih dari Rp 500.000. Pendapatan itu dibagi rata, masing-masing bisa mendapatkan Rp 100.000/orang. Namun kadang, pendapatan itu tidak tak pasti.
"Kadang kalau lagi ramai orang sampai Rp 100.000 sehari per orang. Kalau sepi ya Rp 80.000 per hari. Dibagi rata. Itu cukup nggak cukup, tapi di ukup-cukupin," jelasnya.
Dukanya saat mengamen angklung ini, Sandi menerangkan jika terjadi hujan. Berdasarkan pengalamannya jika hujan turun seharian, mereka bisa sama sekali tak mendapatkan uang.
"Dukanya itu kalau hujan ya, nggak bisa sama sekali main. Kalau keliling dulu sering diomelin orang," ungkapnya.
Pengamen niat lainnya yakni yang biasa mengamen di Mampang, Jakarta Selatan. Di sebuah lampu merah Mampang jika dari arah Tendean, mereka ada di lampu merah ketiga, tepatnya di dekat restoran makanan siap saji KFC.
Niatnya pengamen di sana dengan menggunakan alat musik dan sound system. Tidak hanya itu, terlihat juga saat ditelusuri detikcom ada yang menggunakan alat musik bernama Jime, penampakannya dan cara menggunakannya seperti gendang.
Salah satu pengamen misalnya Novan menyatakan ide awalnya hanya ngamen menggunakan alat musik biasa tanpa sound. Tetapi beberapa tahun belakangan terus dilakukan razia oleh Satpol PP. Oleh karena itu, ia dan teman-temannya mencoba untuk mengamen di pinggir lampu merah tanpa keliling.
Modal yang dikeluarkan Novan dan pengamen lainnya untuk membeli sound hingga mic sebesar Rp 4 juta. Biaya untuk pembelian sound ini didapatkan dari urunan beberapa pengamen.
"Satu set sound ini Rp 4 juta, sudah sama mic. Kami waktu itu patungan beberapa pengamen," ujar Novan.
Novan sendiri sebelumnya merupakan pekerja di salah satu perusahaan swasta menjadi cleaning service. Namun, pada masa pandemi dia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), makanya terpaksa memilih pekerjaan mengamen untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Pengamen niat lainnya ada yang sampai mengutang untuk membeli seperangkat sound system. Seperti yang diceritakan Sisca pengamen jalanan di kawasan Mampang. Pengeluaran untuk membeli sepaket sound sebesar Rp 5 juta, uang itu didapatkan dirinya dan temannya dari meminjam ke peminjam keliling.
Untuk pembayaran ganti uang pinjaman itu, Sisca dan teman-temannya mencicil dari penghasilan mengamen setiap hari. Uang cicilan yang dibayar kurang lebih Rp 40.000 sampai Rp 50.000 per hari.
"Jadi setiap orang menyisihkan Rp 10.000 per orang, kalau ada 4 atau 5 orang ya masing-masing Rp 10.000. Setiap hari kita bayar," ungkapnya.
(ada/zlf)