Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengkritisi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang baru saja diterbitkan pemerintah. Meski demikian, mereka tidak berniat untuk menggugat Perppu tersebut.
Hal ini ditegaskan oleh Ketua Umum Apindo Hariyadi B Sukamdani dalam Konferensi Pers di Kantor Apindo, Selasa (03/01/2022). Dalam hal ini, ia meminta pemerintah untuk melibatkan pihak pengusaha dalam penyusunan peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan lanjutannya.
"Nggak lah, jadi kami tidak ada rencana menggugat Perppu. Tapi kami mencoba untuk meminta pemerintah, ayo duduk bareng, karena menurut pandangan kami, ini casenya berbeda dari kemarin (Permenaker 18/2022)," ujar Hariyadi.
Menurutnya, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 18 tahun 2022 kemarin memang menyalahi aturan sebelumnya, yaitu Undang-Undang (UU) No. 36 tahun 2021. Karena itulah, pihaknya melayangkan gugatan yang hingga kini pun masih diproses di Mahkamah Agung (MA).
"Kalau sekarang sudah lain, karena Perppu itu bicaranya UU yang ceritanya sebagai sumber hukum yang relatif tinggi ya, jadi kita melihatnya perspektifnya ini kita coba bicara dengan Pemerintah, dan DPR, ajak sama-sama. Terpenting kami sudah memberikan catatan," terang Hariyadi.
"Perkara keputusannya berbeda, ya biarlah masyarakat yang menilai apakah keputusan tersebut objektif apa tidak, kami hanya ingin menyampaikan perspektif yang objektif saja," tambahnya.
Tidak hanya itu, Hariyadi mengatakan, pihaknya tidak menggugat Perppu Cipta Kerja karena aturan tersebut dapat mengakomodasi Permenaker No. 18 2022. Menurutnya, dalam penyusunan UU yang terpenting ialah harus melibatkan partisipasi publik.
"Kita meminta pada pemerintah, pada parlemen, ayo dong, itu semaksimal mungkin kita lakukan (partisipasi). Karena kalau kita mengambil langkah hukum pertimbangan kami adalah menjadi tidak produktif, mau berapa lama proses hukumnya?," ucapnya.
Dalam Perppu ini, Apindo sendiri menyoroti dua perkara utama yang termasuk ke dalam klaster ketenagakerjaan, yakni soal formula baru Upah Minimum (UM) dan aturan baru menyangkut tenaga alih daya atau outsourcing.
Menyangkut formula UM yang terkandung dalam Perppu tersebut, menurutnya, perhitungan UM yang menggabungkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu, akan memberatkan dunia usaha.
Sementara menyoal outsourcing, pihaknya merasa pemberlakuan pembatasan ini merupakan langkah yang tidak tepat. Apalagi, menurut Hariyadi, Indonesia membutuhkan lapangan kerja yang sangat besar, sehingga pembatasan ini justru malah akan mempersempit kesempatan.
Haryadi sangat menyayangkan, perkara ketenagakerjaan khususnya pengupahan ini kerap dipolitisasi, terutama oleh kepala daerah yang punya keinginan politis tertentu. Karena itulah, isu pengupahan hingga kini terus menuai polemik.
"Padahal kami selalu mengingatkan isu ketenagakerjaan itu tidak ada relevansinya dengan elektabilitas. Jadi saya selalu ingatkan, udah deh jangan masuk ke ranah ini, karena ranah ini begitu diacak acak yang rugi itu masyarakat," katanya.
Simak Video "Detik-detik Gedung DPRD Sumut Dilempari Telur-Tomat oleh Massa Demo"
[Gambas:Video 20detik]
(zlf/zlf)