Deddy menegaskan bila dilihat dari sisi pengembangan transportasi, kemajuan sebuah bangsa bukan dilihat dari kepadatan pengguna kendaraan di jalan-jalannya apalagi sampai ada kemacetan.
"Ini kalau orang ekonomi bilang kemajuan sebuah bangsa dapat diukur dari jumlah pengguna mobilnya di jalan. Tapi kalau orang transportasi seperti saya pasti akan mengatakan, kemajuan sebuah bangsa hanya diukur dari perilaku pengguna kendaraan di jalan raya," ungkap Deddy kepada detikcom, Minggu (12/2/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya keberhasilan pengembangan transportasi di suatu wilayah adalah saat semua penghuninya mau menggunakan angkutan umum. Di sisi lain, pemerintahnya pun harus memberikan angkutan umum yang nyaman dan dapat diandalkan.
"Berhasilnya transportasi tidak dapat diukur dari jumlah pengguna kendaraan pribadi, tapi diukur dari keberhasilan menyediakan angkutan umum massal yang ramah, nyaman, aman, selamat," kata Deddy.
Deddy juga menyoroti data penjualan kendaraan yang dipaparkan oleh Yustinus di utasnya. Menurutnya, penambahan kendaraan pribadi di jalan bukan merupakan sesuatu yang baik. Deddy juga menduga pemerintah seakan-akan terlalu mendukung penggunaan kendaraan pribadi di tengah masyarakat daripada mengajak masyarakat naik angkutan umum.
Apalagi pemerintah pun sempat mengeluarkan kebijakan yang memberikan kemudahan pembelian kendaraan saat pandemi COVID-19. Menurutnya, fasilitas pajak 0% untuk pembelian mobil yang sempat dilakukan saat pandemi hanya membuat penggunaan kendaraan pribadi membludak dan ujungnya menimbulkan kemacetan.
"Political will pemerintah lebih memilih vehicle oriented daripada transit oriented yang berguna untuk memajukan angkutan umum massal baik berbasis jalan atau berbasis rel," sebut Deddy.
Kerugian Material Macet
Pengamat Transportasi Unika Soegijapranata Djoko Setijowarno juga menyoroti pernyataan Yustinus. Djoko juga silang pendapat dengan Yustinus, persis seperti Deddy. Menurutnya, kemacetan bukan sebuah tanda pergerakan ekonomi, namun justru sebuah langkah pemborosan yang besar.
Dia mengatakan dengan adanya kemacetan di jalan yang dipicu banyaknya kendaraan pribadi, artinya semua orang harus membuang-buang bahan bakar secara percuma. Belum lagi perhitungan waktu yang terbuang cuma karena macet.
Djoko menilai sangat tidak tepat menyebut kemacetan tanda geliat ekonomi. Bukan ekonomi yang bergerak, di tengah kemacetan yang timbul hanya lah kerugian bagi ekonomi. Kemacetan juga merugikan negara secara besar-besaran, subsidi BBM triliunan rupiah dibakar di tengah kemacetan.
"Kalau macet kan karena banyak kendaraan pribadi di jalan, kan artinya ini jatuhnya malah pemborosan. BBM-nya berapa? Subsidi BBM berapa triliun dibakar cuma untuk kemacetan. Kurang tepat kalau diglorifikasikan begitu," sebut Djoko ketika dihubungi detikcom.
Djoko juga mengungkapkan diperkirakan kemacetan di Jakarta dan sekitarnya dapat membuat kerugian dalam nominal Rp 71 triliun lebih. Mulai karena pemborosan waktu hingga pemborosan BBM yang terbuang sia-sia.
"Dampak sekarang, kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jabodetabek sebesar Rp 71,4 triliun per tahun akibat pemborosan bahan bakar dan waktu hilang. Terjadi pemborosan BBM sebesar 2,2 Juta liter per hari," ungkap Djoko.
Djoko juga mengatakan kemacetan yang makin parah di Jakarta merupakan bukti pemerintah memang kurang tegas untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi. Kendaraan pribadi justru terus menerus diberikan kemudahan untuk tumbuh.
"Ini kan seharusnya sudah ada pembatasan kendaraan pribadi di Jakarta, melihat jumlah kendaraan pribadi yang semakin banyak. Cuma kan ketegasan pemerintahnya kurang untuk menahan laju kendaraan pribadi, kebijakan ERP itu saja nggak jalan-jalan, 3 in 1 sampai ganjil genap juga nggak ngaruh," ungkap Djoko.
Djoko mengatakan untuk lingkup Jakarta saja, menurutnya jaringan transportasi umumnya sudah baik dan berjalan dengan sempurna. Dia mengatakan 92% kawasan di Jakarta sudah terhubung transportasi umum.
"Kalau di Jakarta saja kan, jalan berapa ratus meter, jarak pejalan kaki bisa ketemu angkutan umum, minimal Jak Lingko lah yang angkot. Seharusnya ini masyarakat yang lalu lalang di Jakarta diperketat menggunakan kendaraan pribadi," kata Djoko.
(hal/zlf)