Kritisi RUU Omnibus Law Kesehatan, Pengusaha Sebut Iuran BPJS Bisa Naik

Kritisi RUU Omnibus Law Kesehatan, Pengusaha Sebut Iuran BPJS Bisa Naik

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Selasa, 28 Feb 2023 18:30 WIB
Ketua Umum Apindo Hariyadi B Sukamdani
Ketua Umum Apindo Hariyadi B Sukamdani (Foto: Shafira Cendra Arini/detikcom)
Jakarta -

Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) memberikan respons setelah disetujuinya Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dengan pendekatan metode Omnibus Law oleh DPR RI. Implementasi aturan ini disebut-sebut berpotensi membuat iuran BPJS naik.

Ketua Umum Apindo Hariyadi B Sukamdani mengatakan, sejumlah pengaturan dalam RUU tersebut erat kaitannya dengan dunia usaha dan kesejahteraan pekerja. Oleh karena itu, pihaknya menyoroti sejumlah aturan dalam regulasi baru tersebut.

Hariyadi menjelaskan, pasal 432 RUU tersebut menyebut akan mengubah, mengatur, dan/atau menetapkan beberapa pengaturan baru yang diatur dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Nomor 40/2004, dan UU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Nomor 24/2011 yang dijabarkan dalam pasal 424 dan 425.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menyangkut hal ini, salah satu yang disorotinya yakni posisi BPJS Kesehatan yang akan berada di bawah Kemenkes, di mana sebelumnya pertanggung jawabannya langsung kepada Presiden. Menurutnya, hal ini mengancam kemandirian dari instansi tersebut serta berpotensi menyebabkan penurunan efektivitas birokrasi.

"Sebagai badan pengelola dana masyarakat, posisi kelembagaan saat ini dirasa sudah tepat, di mana bertanggung jawab langsung ke Presiden tanpa melalui kementerian. Kondisi ini menempatkan BPJS Kesehatan sebagai sub-organisasi dan memperpanjang birokrasi sehingga tidak efektif dan efisien," kata Hariyadi, dalam konferensi pers tentang RUU Kesehatan tersebut, Selasa (28/2/2023).

ADVERTISEMENT

Tidak hanya itu, ia juga sempat mendengar kabar kalau Kemenkes nantinya diberikan kuasa untuk memberikan penugasan kepada BPJS Kesehatan. Menurutnya, ini mendatangkan polemik baru di tengah masyarakat lantaran seharusnya dana jaminan sosial dari iuran peserta semaksimal mungkin diberikan kepada para peserta, bukan kepentingan luar.

"Sempat ada argumentasi karena pemerintah memberikan penerima bantuan iuran (PBI) bagi masyarakat yang membutuhkan. Pendapat kami, bukan berarti pemerintah dapat melakukan program-program penugasan BPJS. Karena selain PBI, mayoritas masyarakat berbayar. Penerima uang dari pemda itu ikut iuran, bukan dari APBN saja. Non PBI itu lebih besar," imbuhnya.

Atas hal ini, menurut Hariyadi biaya penyelenggaraan BPJS Kesehatan berpotensi mengalami peningkatan yang dapat berujung pada kenaikan iuran peserta yang akan membebani pekerja dan pemberi kerja. Pasalnya, instansi berpotensi menerima penugasan lainnya.

"Penugasan tambahan dari Kementerian Kesehatan berpotensi membebani dana jaminan sosial yang merupakan milik peserta. Dana ini dapat tergerus untuk melakukan penugasan dari kementerian yang semestinya dibiayai APBN. Akibatnya pekerja yang harus mendukung," ujarnya.

Berikutnya, Apindo juga menyoroti perihal berkurangnya keterlibatan masyarakat dalam unsur keterwakilan, salah satunya dalam pemilihan Direksi BPJS Kesehatan. Kini, direksi akan diusulkan oleh Menteri Kesehatan kepada Presiden, tidak lagi oleh DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional).

"Pengaturan berdasarkan UU SJSN yang ada saat ini tidak perlu diubah karena sudah tepat dimana pembentukan Panitia Seleksi diusulkan oleh DJSN sebagai Lembaga Non Struktural (LNS) yang keanggotaannya dari unsur tripartit plus (Pemberi Kerja, Pekerja, Pemerintah dan Tokoh Masyarakat/Ahli sebagai representasi masyarakat umum) sehingga lebih menjamin independensi dibandingkan jika diusulkan oleh Kementerian," kata Hariyadi.

Hariyadi juga menyinggung perihal BPJS Kesehatan yang akan diwajibkan untuk menerima kerjasama yang diajukan Fasilitas Kesehatan (Faskes) yang telah memenuhi perizinan sesuai undang-undang yang berlaku. Ia khawatir akan kualitas pelayanan pekerja akan terancam.

Berdasar poin-poin tersebut, pihaknya mengharapkan agar klaster Jaminan Sosial dikeluarkan dari RUU agar lebih dapat menjamin pelayanan kesehatan dan tidak menyebabkan beban biaya tambahan bagi pekerja dan pemberi kerja.

Hariyadi juga berharap, penyusunan RUU ini bisa fokus pada rumpun bidang yang merupakan lingkup kewenangan Kementerian Kesehatan untuk reformasi kesehatan dan tidak menerabas lingkup bidang lainnya.

"Jika dimaksudkan untuk perbaikan kebijakan terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui Omnibus Law, sebaiknya dilakukan khusus Omnibus Law Jaminan Sosial, walaupun menurut kami rasanya belum dibutuhkan," pungkasnya.

(das/das)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads