Reformasi tata kelola perikanan nasional Penarikan PNBP SDA perikanan pascaproduksi merupakan kegiatan prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai wujud reformasi tata kelola perikanan nasional dan menjadi bagian integral dari kebijakan Penangkapan Ikan Terukur.
Penarikan PNBP SDA perikanan pascaproduksi tidak hanya terkait perbaikan proses penarikan penerimaan negara, tetapi juga memiliki tujuan lainnya yang sangat fundamental, antara lain: (a) mewujudkan tata kelola yang lebih terukur, adil dan terkendali; (b) pendataan perikanan yang lebih lengkap dan akurat yang akan berpengaruh terhadap proses pengendalian pemanfaatan sumber daya ikan, penyusunan estimasi potensi, serta penyusunan kebijakan perikanan lainnya; dan (c) perbaikan tata kelola perikanan secara keseluruhan seperti perbaikan tata kelola pelabuhan pangkalan, perbaikan rantai bisnis perikanan, dll.
Dengan adanya perombakan ini, pungutan hasil perikanan (PHP) tidak lagi dibayarkan di awal menggunakan perhitungan asumsi produktivitas kapal perikanan, melainkan dibayar di akhir berdasarkan penghitungan riil ikan hasil tangkapan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perbedaan paling mendasar adalah waktu penarikan PNBP.
Pada aturan sebelumnya, penarikan PNBP dilakukan sebelum nelayan melaut atau pada saat pengurusan perizinan (Surat Izin Penangkapan Ikan/SIPI) untuk setahun ke depan. Sehingga berapapun volume produksi yang didapat, jumlah PNBP yang dibayar tetap sama. Skema ini dinamakan PNBP praproduksi.
Bagi nelayan, skema ini cenderung memberatkan karena biaya sudah dikeluarkan sebelum mendapat hasil tangkapan. Bagi pemerintah, penerimaaan negara bisa jadi tak sesuai dengan potensi yang seharusnya karena berapapun ikan yang ditangkap besaran PNBP-nya tetap sama.
"Maka dari itu, kini ada skema penarikan PNBP yang lebih adil yang diberi nama PNBP pascaproduksi. Penarikan PNBP dilakukan setelah nelayan menangkap ikan," terang Zaini.
Bagi nelayan, skema baru ini ini tentu lebih adil karena PNBP ditarik setelah nelayan memperoleh hasil. Selain itu, jumlah PNBP yang dibayarkan juga sesuai dengan volume ikan yang ditangkap nelayan. Penarikan PNBP dilakukan dengan hitungan hasil indeks PNBP dan nilai produksi ikan, yang terdiri dari harga pokok produksi dan harga acuan ikan.
"Besaran tarif PNBP yang harus dibayarkan ditentukan dari indeks tarif dikali nilai produksi ikan. Besaran nilai produksi ikan dihitung dari berat ikan hasil tangkapan dikalikan harga acuan ikan. Sementara indeks tarif telah diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada KKP," jelas Zaini.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menekankan pungutan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pascaproduksi akan memberikan keadilan dan kemudahan bagi pelaku usaha. Di samping itu, penyusunan segala peraturan dan keputusan juga telah melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk penentuan harga acuan ikan yang sudah menampung aspirasi pelaku usaha dan nelayan terkait harga pokok produksi/biaya operasional.
"Kini, sebagai kewajiban pelaku usaha atas izin menangkap ikan yang sudah diberikan negara, juga atas aspirasinya yang sudah diserap dengan maksimal, maka saatnyalah saat ini pelaku usaha menjawab kepercayaan tersebut antara lain dengan menyampaikan Laporan Penghitungan Mandiri atas setiap produksi ikan hasil tangkapan dengan akurat sesuai dengan kondisi riilnya. Dengan demikian, kewajiban pembayaran PNBP juga sudah atas hasil perhitungan yang akurat," ujar Zaini.
"Jika pelaku usaha tidak patuh, tentu saja ada sanksi, seperti membayar tagihan atas kekurangan bayar atas pelaporan mandiri yang tidak akurat, membayar denda administrasi, pengurangan alokasi usaha, pembekuan perizinan, hingga perizinan tidak dapat diperpanjang," tambahnya.
"Bahkan, dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak pasal 67 ada ketentuan pidana bagi Wajib Bayar yang dengan sengaja tidak membayar atau menyampaikan laporan PNBP terutang yang tidak benar," tegas Zaini.
Pendek kata, kerja sama dan kolaborasi adalah kata kunci. Pemerintah membuat regulasi yang baik dan telah menampung ragam aspirasi. Sedangkan pelaku usaha tentu harus mematuhi semua peraturan yang berlaku. "Di sinilah akan tercapai titik optimal pengelolaan perikanan kita, baik bagi masyarakat, penerimaan negara, maupun bagi keberlanjutan sumber daya ikan dan lingkungannya," tutupnya.
(ada/dna)