Reformasi Perikanan Tangkap dengan PNBP Pascaproduksi

Reformasi Perikanan Tangkap dengan PNBP Pascaproduksi

Aulia Damayanti - detikFinance
Rabu, 08 Mar 2023 12:00 WIB
Nelayan tradisional membenahi perahu dan alat tangkap seusai melaut di pesisir pantai Aceh Besar, Aceh, Kamis (12/5/2022). Pemerintah melalui jajaran TNI dan Polri menyalurkan bantuan tunai sebesar Rp600.00 kepada 1,76 juta nelayan di 212 kabupaten dan kota dengan kriteria pelaku usaha kelautan dan perikanan yang merupakan nelayan buruh, nelayan penangkap ikan tanpa kapal, atau nelayan pemilik kapal kurang dari 5 GT (Gross Tonase) sebagai upaya pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/foc.
Foto: ANTARA FOTO/IRWANSYAH PUTRA
Jakarta -

Perikanan tangkap merupakan kegiatan penangkapan ikan di laut yang menjadi lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan penyumbang devisa negara. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat perikanan tangkap merupakan penghasil penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang cukup besar setiap tahunnya.

Untuk tahun 2022 saja, KKP melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) mencatat capaian penerimaan negara bukan pajak (PNBP) subsektor perikanan tangkap sebesar Rp 1,26 triliun.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Muhammad Zaini mengatakan PNBP pada tahun 2022 dicatatkan sebagai rekor tertinggi bagi perikanan tangkap sejak tahun 2009. Capaian itu naik 61% dari tahun 2021 yang hanya Rp 784 miliar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Torehan tersebut terjadi seiring dengan berbagai upaya perbaikan yang dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan dan menjadi salah satu bukti tumbuhnya subsektor perikanan tangkap," ujarnya dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (6/3/2023).

Kinerja pembangunan perikanan tangkap pada tahun 2022 juga menunjukkan perkembangan yang positif. Rata-rata nilai tukar nelayan (NTN) sampai bulan November 2022 adalah 106,56. Nilai tukar nelayan menjadi salah satu yang terbaik dalam nilai tukar sektor pertanian secara umum. Selanjutnya, jumlah produksi perikanan tangkap hingga triwulan III tercatat sebesar 5,96 juta ton dengan nilai produksi mencapai Rp 182,59 triliun.

ADVERTISEMENT

Dalam catatan KKP, PNBP perikanan tangkap memang memiliki tren yang meningkat. Pada 2016, PNBP perikanan tangkap mencapai Rp 381,71 miliar. Kemudian meningkat pada 2017 menjadi Rp 519,33 miliar. Sedikit menurun pada 2018 menjadi Rp 481,32 miliar. Lalu, meningkat lagi pada 2019 menjadi Rp 559,70 miliar, 2020 meningkat lagi menjadi Rp 643,60 miliar, pada 2021 menjadi Rp 784,59 miliar. Hingga akhirnya nilai PNBP sektor perikanan tangkap pada 2022 naik menjadi Rp 1,273 triliun.

Catatan tersebut menunjukkan tren positif setiap tahunnya untuk PNBP perikanan tangkap.

Dalam perjalanannya, pemerintah ingin PNBP bisa menjadi instrumen yang bisa memberi dampak yang lebih positif bagi indutri perikanan tangkap, khusunya bagi para nelayan yang melakukan kegiatan usaha di bidang ini.

Upaya itu, lanjut Zaini, direalisasikan dengan melakukan perombakan pada penerapan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang semula pungutannya dilakukan pada pra produksi, kini diganti menjadi pascaproduksi.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Reformasi tata kelola perikanan nasional Penarikan PNBP SDA perikanan pascaproduksi merupakan kegiatan prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai wujud reformasi tata kelola perikanan nasional dan menjadi bagian integral dari kebijakan Penangkapan Ikan Terukur.

Penarikan PNBP SDA perikanan pascaproduksi tidak hanya terkait perbaikan proses penarikan penerimaan negara, tetapi juga memiliki tujuan lainnya yang sangat fundamental, antara lain: (a) mewujudkan tata kelola yang lebih terukur, adil dan terkendali; (b) pendataan perikanan yang lebih lengkap dan akurat yang akan berpengaruh terhadap proses pengendalian pemanfaatan sumber daya ikan, penyusunan estimasi potensi, serta penyusunan kebijakan perikanan lainnya; dan (c) perbaikan tata kelola perikanan secara keseluruhan seperti perbaikan tata kelola pelabuhan pangkalan, perbaikan rantai bisnis perikanan, dll.

Dengan adanya perombakan ini, pungutan hasil perikanan (PHP) tidak lagi dibayarkan di awal menggunakan perhitungan asumsi produktivitas kapal perikanan, melainkan dibayar di akhir berdasarkan penghitungan riil ikan hasil tangkapan.

Perbedaan paling mendasar adalah waktu penarikan PNBP.

Pada aturan sebelumnya, penarikan PNBP dilakukan sebelum nelayan melaut atau pada saat pengurusan perizinan (Surat Izin Penangkapan Ikan/SIPI) untuk setahun ke depan. Sehingga berapapun volume produksi yang didapat, jumlah PNBP yang dibayar tetap sama. Skema ini dinamakan PNBP praproduksi.

Bagi nelayan, skema ini cenderung memberatkan karena biaya sudah dikeluarkan sebelum mendapat hasil tangkapan. Bagi pemerintah, penerimaaan negara bisa jadi tak sesuai dengan potensi yang seharusnya karena berapapun ikan yang ditangkap besaran PNBP-nya tetap sama.

"Maka dari itu, kini ada skema penarikan PNBP yang lebih adil yang diberi nama PNBP pascaproduksi. Penarikan PNBP dilakukan setelah nelayan menangkap ikan," terang Zaini.

Bagi nelayan, skema baru ini ini tentu lebih adil karena PNBP ditarik setelah nelayan memperoleh hasil. Selain itu, jumlah PNBP yang dibayarkan juga sesuai dengan volume ikan yang ditangkap nelayan. Penarikan PNBP dilakukan dengan hitungan hasil indeks PNBP dan nilai produksi ikan, yang terdiri dari harga pokok produksi dan harga acuan ikan.

"Besaran tarif PNBP yang harus dibayarkan ditentukan dari indeks tarif dikali nilai produksi ikan. Besaran nilai produksi ikan dihitung dari berat ikan hasil tangkapan dikalikan harga acuan ikan. Sementara indeks tarif telah diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada KKP," jelas Zaini.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menekankan pungutan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pascaproduksi akan memberikan keadilan dan kemudahan bagi pelaku usaha. Di samping itu, penyusunan segala peraturan dan keputusan juga telah melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk penentuan harga acuan ikan yang sudah menampung aspirasi pelaku usaha dan nelayan terkait harga pokok produksi/biaya operasional.

"Kini, sebagai kewajiban pelaku usaha atas izin menangkap ikan yang sudah diberikan negara, juga atas aspirasinya yang sudah diserap dengan maksimal, maka saatnyalah saat ini pelaku usaha menjawab kepercayaan tersebut antara lain dengan menyampaikan Laporan Penghitungan Mandiri atas setiap produksi ikan hasil tangkapan dengan akurat sesuai dengan kondisi riilnya. Dengan demikian, kewajiban pembayaran PNBP juga sudah atas hasil perhitungan yang akurat," ujar Zaini.
"Jika pelaku usaha tidak patuh, tentu saja ada sanksi, seperti membayar tagihan atas kekurangan bayar atas pelaporan mandiri yang tidak akurat, membayar denda administrasi, pengurangan alokasi usaha, pembekuan perizinan, hingga perizinan tidak dapat diperpanjang," tambahnya.

"Bahkan, dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak pasal 67 ada ketentuan pidana bagi Wajib Bayar yang dengan sengaja tidak membayar atau menyampaikan laporan PNBP terutang yang tidak benar," tegas Zaini.

Pendek kata, kerja sama dan kolaborasi adalah kata kunci. Pemerintah membuat regulasi yang baik dan telah menampung ragam aspirasi. Sedangkan pelaku usaha tentu harus mematuhi semua peraturan yang berlaku. "Di sinilah akan tercapai titik optimal pengelolaan perikanan kita, baik bagi masyarakat, penerimaan negara, maupun bagi keberlanjutan sumber daya ikan dan lingkungannya," tutupnya.


Hide Ads