Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat skor Indeks Kinerja Pengelolaan Sampah (IKPS) di Indonesia tercatat sebesar 50,25 poin pada 2022. Nilai tersebut mengalami kenaikan 0,38% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 50,06 poin.
Melihat trennya, skor IKPS cenderung berfluktuasi selama empat tahun terakhir. Skor IKPS Indonesia pada 2022 tertinggi pada rentang 2019-2022. Data itu juga mengungkapkan, Indonesia mencatatkan jumlah sampah yang dikelola sebesar 14,03 juta ton pada 2022. Khusus Jakarta, memproduksi 8.000 ton sampah setiap hari.
Pertumbuhan volume sampah yang tak seimbang dengan kemampuan pemerintah mengolah sampah telah membuat masalah persampahan menjadi semakin pelik untuk diatasi. Ke depan, metode olah sampah kota-kota besar di Indonesia seharusnya bertumpu pada teknologi yang mampu mereduksi secara optimal volume timbulan dan tumpukan sampah tersebut.
"Kita harus mengakui, pengelolaan sampah di Indonesia memang belum sesuai harapan. Timbulan dan volume sampah, terutama di kota-kota besar di Indonesia, setiap tahun terus bertambah. Celakanya, pertumbuhan volume sampah itu tidak sebanding dengan kemampuan pemerintah mereduksinya," kata Ketua Umum INSWA (Perkumpulan Persampahan Indonesia, Indonesia Solid Waste Association) Guntur Sitorus, Kamis (16/3/2023).
Guntur Sitorus mengatakan, pengelolaan dan pengolahan sampah tidak bisa dilakukan dengan sembarangan dan setengah hati. "Kota-kota besar, terutama Jakarta, sudah darurat sampah, nggak bisa lagi main-main dengan urusan sampah ini," katanya.
Menurut dia, penanganan sampah sesungguhnya mencakup lima tahap, mulai tahap pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir.
"Kalau bicara dari proses ini, ada satu tahap yaitu pengolahan dan pemrosesan akhir itu yang sangat krusial. Pada tahap ini, kita membutuhkan teknologi yang tepat untuk bisa mereduksi sampah secara signifikan. Maksudnya, kita harus mampu mereduksi paling sedikit 85 persen dari total sampah, sehingga residunya tinggal 15 persen. Saya selalu mengatakan, teknologi yang digunakan harus mampu mereduksi minimal residu tinggal 15 persen. Cita-citanya memang harusnya seperti itu, intinya sampah harus musnah. Tapi dalam kenyataan banyak kota yang belum melakukan hal itu," kata Guntur Sitorus.
Nyatanya, timbulan dan timbunan sampah di kota-kota besar masih saja semakin banyak. Ini menjadi bukti bahwa pengelolaan sampah di sana belum memadai, dan pengolahan sampah juga belum maksimal. "Timbunan sampah dari tahun ke tahun terus bertambah, sementara kemampuan pemerintah dan pemerintah daerah tidak secepat peningkatan volume sampah. Baik dari sisi pendanaan, dari sisi sumberdaya manusia, juga tentunya kemampuan teknis lainnya, termasuk teknologi," kata Sitorus.
Ia mengingatkan, Undang-undang No.18 Tahun 2008 mengamanatkan, pengelolaan sampah harus dilakukan secara sistematis, berkesinambungan dan menyeluruh melalui pengurangan dan penanganan sampah. "Artinya, harus dilakukan pengolahan sampah yang maksimal. Pengolahan sampah yang seperti ini tentunya harus mengacu pada penggunaan teknologi yang tepat dan efektif. Intinya, teknologi itu harus bisa mereduksi sampah secara signifikan, hitung-hitungan saya harus bisa sampai 85 persen, dengan menyisakan sedikit saja," kata Guntur Sitorus.
Guntur mengingatkan, teknologi RDF yang saat ini cukup banyak digunakan, sejatinya merupakan teknologi yang memeroses secara mekanis yang juga mereduksi sampah, paling banyak hanya 50 sampai 60 persen. Jadi masih menyisakan sampah dalam jumlah yang cukup banyak," katanya.
Menurut dia, dilihat dari pemanfaatan lahan pengolahan, penggunaan teknologi RDF membutuhkan lahan tanah yang luas. "Dilihat dari sisi ini, jelas tidak menguntungkan jika diaplikasikan di kota-kota besar, dimana harga tanah sudah sangat mahal. Hitung-hitungannya, dengan menggunakan teknologi RDF, untuk sampah 1.000 ton dibutuhkan 8-10 hektare lahan. Jadi bisa dihitung kalau lahan di pinggiran Jakarta harganya sudah Rp3 juta - Rp4 juta per meter, kalau butuh 8 hektare maka butuh sekitar Rp240 miliar. Mahal sekali. Itu baru lahannya saja," ujar Guntur
(das/das)