Buruh Ngamuk Gegara Gajinya Bisa Dipotong Kalau Bosnya Ekspor

Buruh Ngamuk Gegara Gajinya Bisa Dipotong Kalau Bosnya Ekspor

Anisa Indraini - detikFinance
Jumat, 17 Mar 2023 06:45 WIB
Presiden KSPI, Said Iqbal, hadir saat KSPI memberikan keterangan pers di hadapan awak media di Jakarta, Minggu (16/2/2020).
Presiden KSPI, Said Iqbal/Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Partai buruh dan organisasi serikat buruh bereaksi setelah mengetahui aturan industri padat karya berorientasi ekspor boleh memangkas upah pekerja maksimal 25%. Hal itu tegas ditolak karena dinilai melanggar undang-undang.

"Kami menolak Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 yang membolehkan perusahaan padat karya tertentu orientasi ekspor membayar upah 75%. Hal itu jelas melanggar undang-undang," kata Presiden Partai Buruh Said Iqbal dalam keterangan tertulis, Kamis (16/3/2023).

Sebelumnya, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global. Aturan berlaku selama 6 bulan terhitung sejak 8 Maret 2023.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Said Iqbal menyerukan para buruh melakukan mogok kerja jika upahnya dikurangi. Pihaknya mengaku akan menggelar demo di Kementerian Ketenagakerjaan dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Menurut Said Iqbal, yang juga sebagai Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), nilai penyesuaian upah yang di bawah upah minimum adalah tindak pidana kejahatan.

ADVERTISEMENT

"Saya ingatkan, Permenaker ini melanggar undang-undang dan peraturan pemerintah yang telah ditandatangani Presiden di mana kebijakan Presiden hanya ada upah minimum. Kenapa Menaker membuat Permenaker yang isinya bertentangan dengan peraturan di atasnya?" tegasnya.

"Padahal sudah jelas, tidak ada kebijakan menteri, hanya ada kebijakan Presiden. Tetapi Menaker membuat Peraturan Menteri yang melanggar kebijakan Presiden," tambahnya.

Pemerintah mengeluarkan aturan tersebut menimbang dampak perubahan ekonomi global yang mengakibatkan penurunan permintaan pasar. Alasan itu dinilai rentan disalahgunakan perusahaan ekspor untuk membayar upah buruh dengan murah.

Selain itu, kebijakan dinilai diskriminatif dan dikhawatirkan bisa membunuh perusahaan dalam negeri. "Perusahaan orientasi ekspor dibolehkan membayar upah hanya 75%, tetapi perusahaan domestik tidak boleh. Ini diskriminatif! Apakah Menaker bermaksud mau mematikan perusahaan dalam negeri?" ucapnya.

Belum lagi, perusahaan orientasi ekspor juga diperbolehkan menyesuaikan waktu kerja. Penyesuaian dapat dilakukan kurang dari 7 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu, atau 8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.

"Misal ada perusahaan orientasi pasar dalam negeri, perusahaan kecil, sebut saja tekstil, bayar upah 100%. Lalu ada perusahaan besar, raksasa, orientasi ekspor, misal memproduksi UNIQLO, dia boleh bayar upah hanya 75%. Jam kerja yang domestik 40 jam seminggu, di sini hanya 30 jam dan upahnya hanya 75%, bikin rusak negara," ujarnya.

Syarat industri bisa pangkas upah 25% di halaman berikutnya.

Syarat Industri Padat Karya Boleh Pangkas Upah 25%

Perlu digarisbawahi bahwa tidak semua perusahaan industri padat karya berorientasi ekspor boleh memangkas gaji pekerja/buruh maksimal 25%. Hanya tertentu saja yang kriterianya diatur dalam pasal 3.

Industri Padat Karya yang Bisa Pangkas Gaji Buruh Maksimal 35%:

a. Memiliki pekerja/buruh paling sedikit 200 orang
b. Persentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi paling sedikit 15%
c. Produksi bergantung pada permintaan pesanan dari negara Amerika Serikat (AS) dan negara di benua Eropa yang dibuktikan dengan surat permintaan pesanan

Industri Padat Karya Orientasi Ekspor yang Bisa Pangkas Gaji Buruh Maksimal 25%:

a. Industri tekstil dan pakaian jadi
b. Industri alas kaki
c. Industri kulit dan barang kulit
d. Industri furnitur dan
e. Industri mainan anak

Selain itu, perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor juga boleh melakukan pengaturan waktu kerja yang disesuaikan dengan pembayaran upah. Hal ini diklaim untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Penyesuaian waktu kerja dapat dilakukan kurang dari 7 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu. (Atau) 8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu," tulis pasal 5 ayat (3).



Simak Video "Partai Buruh Ogah Koalisi: Kami Tak Percaya Karena Omnibus Law"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads