Anak-anak muda saat ini, khususnya Generasi Milenial dan Generasi Z kerap kali melakukan career switch. Apa itu career switch?
Melansir dari Indeed, Senin (3/4/2023), career switch adalah suatu tindakan mengejar pekerjaan di luar posisi pekerjaan saat ini. Misalnya, seseorang bekerja di bidang kesehatan, lalu dia mencari pekerjaan lain di industri makanan.
Career switch juga tidak harus mengganti perusahaan tempat bekerja. Bisa saja saat ini bekerja di divisi administrasi lalu pindah ke divisi marketing. Intinya, yaitu menggunakan keterampilan atau pengetahuan yang telah didapat di profesi sebelumnya untuk diterapkan di karir yang benar-benar baru.
Belakangan ini, di Twitter tengah ramai membicarakan terkait career switch di usia muda. Hal ini bermula dari postingan akun base Twitter @worksfess yang berisi foto terkait pertanyaan apakah di usia 24 tahun sudah harus menentukan pekerjaan yang benar-benar ingin ditekuni atau masih bisa mencoba berbagai pekerjaan lainnya.
"Menurut kalian, penentuan last port (tujuan akhir bidang karir yg akan dijalani sampe tua) itu paling bijaknya maximal di umur berapa ya? Aku usia 24 tahun kalo pindah kerja masih mencar2 beda2 bidangnya, karena merasa masih pengen coba bidang lain, di sisi lain takut gabisa fokus ke satu bidang aja, tapi di sisi lain juga masih pengen coba2 yang lain," cuitnya dilihat detikcom, Senin (3/4/2023).
Menurut Pengamat Sosial Devie Rahmawati, anak-anak muda, seperti generasi milenial atau generasi z, tumbuh besar di ekosistem digital di mana ada banyak opsi dalam hidup mereka sejak masih kecil. Hal ini nantinya bisa mempengaruhi mentalitas mereka sebagai pekerja.
Ia menyebutkan beberapa alasan banyak anak muda yang melakukan career switch, salah satunya yaitu ingin mengeksplorasi karirnya.
"Mereka juga berharap mereka memiliki kesempatan untuk eksplorasi dunia kerjanya," tuturnya kepada detikcom, Senin (3/4/2023).
Ia melanjutkan, career switch tidak hanya melulu soal gaji bulanan yang besar. Akan tetapi, generasi milenial dan generasi z juga menilai kebermanfaatan mereka dalam suatu perusahaan tempatnya bekerja.
"Jadi bukan hanya terhadap pada pekerjaan di mana dia bisa mendapat gaji bulanan, tetapi dengan dia bekerja di sini maka dia juga misalnya bisa membantu dunia bebas dari kelaparan karena misalnya perusahaannya punya beberapa aksi-aksi yang menyasar peningkatan kesejahteraan sosial," tuturnya.
Apabila mereka tidak merasa bermanfaat atau memiliki makna dalam melakukan pekerjaan, mereka cenderung untuk mengganti bidang pekerjaan yang dapat memberikan mereka 'kepuasan' tersendiri. Namun demikian, hal-hal tersebut bisa berdampak negatif pada perusahaan tempat mereka bekerja.
"Tingginya angka keluar masuk job hoppers ini juga mempengaruhi biaya terkait ketika sebuah perusahaan telah menginvestasikan untuk melakukan training dan sebagainya," paparnya.
(das/das)