Jakarta -
Impor kereta rel listrik (KRL) bekas dari Jepang tidak direkomendasikan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sebelumnya, PT KCI meminta izin impor kereta bekas untuk menggantikan beberapa armada keretanya yang bakal 'pensiun' dalam waktu dekat.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengungkapkan ada beberapa poin temuan BPKP yang membuat impor KRL bekas tidak direkomendasikan.
"Sesuai hasil riviu, saat ini tidak direkomendasikan untuk impor KRL. Dari hasil riviu sih sudah cukup jelas hasilnya dan kita akan mengacu kepada hasil riviu ini," ungkap Seto dalam konferensi pers di kantornya, bilangan Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (6/4/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu yang disorot adalah sarana KRL yang dinilai masih mencukupi untuk kebutuhan penumpang. Bahkan, tingkat keterisian KRL disebut belum mencapai 100%.
"Overload memang terjadi pada jam peak hours, namun secara keseluruhan untuk okupansi itu di 2023 masih cuma 62,75%. Sementara di 2024 diperkirakan masih 79% dan 2025 itu masih di 83%, ini data saya dapat dari BPKP," ungkap Seto.
Seto menyatakan pihaknya sudah melakukan rapat terkoordinasi dengan eselon I di beberapa kementerian. Hasilnya, dia meminta PT KCI selaku pihak yang akan mengimpor kereta KRL bekas Jepang untuk melakukan retrofit atau perbaikan pada kereta-kereta yang akan pensiun.
Selain itu, KCI juga diminta untuk mengoptimalkan operasional dengan sarana yang sudah ada saat ini. Dia juga meminta KCI segera melakukan pemesanan retrofit untuk mempercepat ketersediaan armada kereta.
"Kita sudah rapat eselon I, kami meminta PT KCI melakukan riviu operasi mereka yang ada dan optimalkan sarana yang ada, kita juga minta untuk bisa dilakukan retrofit atas sarana yang saat ini ada dan atau pensiun. Permasalahan retrofit kita minta bisa dipesan dan dilakukan lebih awal," ungkap Seto.
Lantas apa saja poin-poin yang disorot BPKP hingga tidak merekomendasikan impor KRL bekas? Buka halaman selanjutnya.
1. Tidak Mendukung Industri Lokal
Pertama, rencana impor KRL bekas dinilai tidak mendukung perkembangan industri perkeretaapian nasional. Seto mengungkapkan dalam aturan di Kementerian Perhubungan, pengadaan KRL harus memenuhi spesifikasi teknis berupa pengutamaan penggunaan produk dalam negeri.
"Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 175 Tahun 2015 tentang Standar Spesifikasi Teknis Kereta Kecepatan Normal dengan Penggerak Sendiri telah menetapkan persyaratan umum pengadaan kereta berkecepatan normal dengan penggerak sendiri termasuk KRL harus memenuhi spesifikasi teknis yang salah satunya adalah mengutamakan produk dalam negeri," papar Seto.
2. Fokus Penggunaan Produk Dalam Negeri
Kemudian menurutnya Kementerian Perdagangan juga sudah menolak permohonan impor KRL bekas dengan alasan tegas fokus pemerintah untuk meningkatkan penggunaan produk dalam negeri.
"Kedua Kemendag juga sudah berikan tanggapan terkait permohonan dispensasi impor KRL yang tidak baru yang menyatakan pemrohonan dispensasi ini tidak bisa dipertimbangkan karena fokus pemerintah adalah pada peningkatan produksi dalam negeri dan subtitusi impor melalui gerakan P3DN," lanjut Seto.
Lebih lanjut Seto memaparkan BPKP mengutip Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 2021 dan kebijakan Kementerian Pedagang soal kebijakan dan pengaturan impor dijelaskan barang bukan baru atau bekas yang bisa diimpor ke Indonesia, salah satunya adalah barang yang belum dapat dipenuhi dari sumber dalam negeri.
Bersambung ke halaman selanjutnya.
3. Sarana KCI Masih Cukup
Ketiga, BPKP menyoroti jumlah sarana KRL yang dioperasikan oleh PT KCI. Menurut laporan BPKP sampai saat ini masih ada sarana yang bisa dioptimalkan oleh KCI untuk menunjang operasi commuter line.
"Ada beberapa alasan teknis dari BPKP terkait dengan impor ini kurang tepat karena beberapa unit sarana yang sebenarnya masih bisa dioptimalkan untuk penggunaannya," kata Seto.
Seto memaparkan BPKP menjelaskan dalam hasil auditnya saat ini ada sekitar 1.114 unit KRL yang dioperasikan KCI, kemudian 48 unit KRL diberhentikan operasinya, dan 36 unit diupayakan untuk dikonservasi atau dipensiunkan.
BPKP menemukan total sarana yang ada masih bisa melayani jumlah kebutuhan penumpang yang ada. Tahun ini, dengan 1.114 unit yang ada KCI melayani total 273,6 juta penumpang per tahun atau sekitar 800-900 ribu penumpang per hari.
Sementara itu, di tahun 2019 saja KCI dapat melayani penumpang lebih banyak dengan jumlah sarana yang lebih kecil. Di 2019 yang lalu armada yang siap digunakan sebanyak 1.078 unit, namun dapat melayani penumpang hingga 336,3 juta per tahun atau mencapai 1 juta penumpang per hari.
BPKP juga menyatakan sampai saat ini okupansi KRL commuter line pun dinilai belum mencapai 100%. Di tahun ini saja baru mencapai 62,75% saja rata-rata tingkat keterisian kereta commuter line.
"Overload memang terjadi pada jam peak hours, namun secara keseluruhan untuk okupansi itu di 2023 masih cuma 62,75%. Sementara di 2024 diperkirakan masih 79% dan 2025 itu masih di 83%, ini data saya dapat dari BPKP," ungkap Seto.
4. Potensi Bengkak Biaya
Seto juga memaparkan temuan lain dari BPKP yang mengungkapkan adanya pembengkakan estimasi biaya impor KRL dari Jepang. Pembengkakan itu kemungkinan bisa terjadi untuk biaya penangan kargo dan pengiriman kereta bekas dari Jepang ke Indonesia.
BPKP menyatakan data perhitungan biaya dari KCI tidak dapat diyakini benar. Pasalnya, biaya yang dihitung KCI hanya berupa biaya impor KRL di tahun 2018 yang ditambah 15% untuk asumsi inflasi, KCI tidak memberikan data terkini soal biaya pengiriman kereta.
"Terkait kewajaran biaya handling dan transportasi ke Indonesia dari jepang yang diajukan KCI tidak dapat diyakini, karena hitungnya tidak berdasarkan survey harga melainkan hanya berdasarkan biaya impor KRL di 2018 yang ditambah 15%," ungkap papar Seto.
Ditambah lagi, BPKP juga sudah melakukan klarifikasi ke pihak Pelindo soal ketersediaan kontainer pengangkut kereta. Hasilnya, kata Seto, butuh kapal kargo khusus untuk mengangkut kereta bekas dari Jepang menuju Indonesia, tentu saja biayanya pun berbeda dengan pengiriman pada umumnya.
"Hasil klarifikasi Pelindo kontainer tersedia hanya 20 dan 40 feet, maka pengangkutan kereta harus menggunakan kapal kargo sendiri dan butuh penambahan biaya yang diestimasikan dengan akurat," sebut Seto.