Konflik yang terjadi di Sudan membuat produsen minuman Coca Cola dan Pepsi khawatir sulit mendapatkan bahan baku yaitu gom Arab alias gum Arabic.
Dikutip dari Reuters, Sabtu (29/4/23), disebutkan gom Arab ini merupakan bahan baku utama untuk minuman permen, kosmetik, hingga minuman bersoda seperti coca cola.
Sebanyak 70% pasokan gom Arab ini berasal dari Afrika. Gom Arab berasal dari pohon akasia di wilayah Sahel.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Coca Cola dan Pepsi sangat bergantung pada gom Arab untuk produksi mereka. Bahkan keduanya telah mengamankan pasokan untuk tiga hingga enam bulan ke depan untuk menghindari sulitnya pasokan.
Mitra Pemasok Foga Gum Martijn Bergkamp mengungkapkan ancaman sulitnya bahan baku ini sangat tergantung dengan durasi konflik yang terjadi.
Tak cuma Coca Cola, produsen manisan Swedia Cloetta AB juga telah menyimpan stok bahan baku untuk mengamankan produksi mereka.
Dua belas eksportir, pemasok dan distributor yang dihubungi Reuters menyebutkan akibat konflik ini pasokan gom Arab mengalami gangguan.
Bahkan sangat sulit untuk mendapatkan tambahan pasokan gom Arab dari daerah pedesaan Sudan. Karena kacaunya kondisi Sudan dan banyaknya akses-akses jalan yang ditutup.
Pemilik AGP Innovations Co Ltd Alwaleed Ali mengungkapkan baik pembeli dan penjual sama-sama tidak tahu kapan konflik tersebut akan berakhir. Kini para pelanggannya sedang mencari negara alternatif untuk mendapat pasokan gom Arab ini.
Hingga berita ini ditayangkan, pihak PepsiCo menolak memberikan komentar kepada Reuters terkait masalah rantai pasok dan komoditas gom Arab tersebut. Coca Cola juga tidak membalas permintaan komentar dari Reuters.
Selama ini dalam proses pembuatannya, perusahaan makanan dan minuman menggunakan gom Arab versi kering atau serbuk untuk bahan baku.
Sementara itu untuk produk kosmetik bisa digunakan bahan pengganti lainnya. Tapi untuk makanan dan minuman tak ada alternatif lain yang bisa menggantikan untuk produksi minuman bersoda.
Gom Arab ini menjadi komoditas di Sudan dan telah menjadi mata pencaharian ribuan orang. Harganya sekitar US$ 3.000 per ton.
(kil/eds)