Para shopaholic China kini lebih banyak menghabiskan uangnya untuk membeli barang-barang mewah di dalam negeri. Kondisi ini diproyeksikan mengancam destinasi dan merek asing di luar negeri yang bergantung pada turis-turis loyal asal China.
Dilansir dari Bloomberg, Rabu (3/5/2023), data dari Sandalwood Advisors, ada sekitar 62% pengeluaran yang dilakukan konsumen di China untuk membeli barang mewah per bulan April kemarin. Angka ini meningkat 41% pada bulan yang sama di tahun 2019 atau tepatnya sebelum COVID-19.
Pertumbuhan positif ini terjadi di tengah pergeseran era pandemi, meskipun pembatasan mobilitas daratan telah dibuka kembali. Kondisi ini disinyalir akan berdampak besar pada destinasi dan merek asing yang dulunya bergantung pada kantong konsumen China.
Hal serupa juga terlihat berdasarkan hasil analisis dari survei Bloomberg yang menyebut porsi belanja pada konsumen China di luar negeri tidak akan kembali ke masa jayanya, walaupun aktivitas bepergian sudah mulai berjalan kembali.
Antusiasme para konsumen China untuk pergi ke luar negeri menurun salah satunya lantaran naiknya harga barang-barang di seluruh dunia. Ditambah lagi, para konsumen melihat penawaran barang-barang mewah domestik telah berkembang jadi lebih canggih dan mudah dijangkau.
"Sebagian besar kekuatan konsumsi akan bertahan di pasar domestik karena kemudahan dan kenyamanan," kata analis senior di penyedia riset pasar Euromonitor International, Prudence Lai.
China sendiri merupakan sumber dari para turis loyal dengan pertumbuhan tercepat di dunia sebelum COVID-19, dengan pengeluaran belanja barang mewahnya mencapai 70% di luar negeri. Oleh karena itu, kondisi saat ini membawa kecemasan bagi tempat liburan dan belanja di Thailand hingga Italia yang menunggu para turis tersebut kembali.
"Pasar ritel di Asia yang populer di kalangan pembeli China akan melihat pemulihan yang lebih lambat dan membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih kembali ke tingkat sebelum COVID-19 dibandingkan dengan industri perjalanan lainnya," ujar Lai.
Adapun perkembangan pasar barang mewah di China ini dapat di lihat di kawasan pusat perbelanjaan kelas atas di Hainan. Di kawasan bagian selatan, terjadi ledakan penjualan selama bertahun-tahun ketika pembatasan perjalanan diberlakukan hingga para turis potensial China terjebak di negaranya.
Nyatanya, kondisi ini tidak berhenti begitu saja walaupun Beijing telah mencabut kebijakan Zero Covid yang ketat pada akhir tahun lalu. Data Sandalwood menunjukkan, penjualan di Hainan tetap mencapai 203% di atas level 2019.
Pergeseran ini bahkan berdampak pada kota-kota mewah seperti Hong Kong dan Macau yang merupakan wilayah administrasi khusus China. LVMH, konglomerat top dunia pada bulan lalu mengalihkan sumber dayanya dari Hong Kong dan meningkatkan investasinya di kota-kota seperti Shanghai dan Shenzhen.
"Ke depan kami memperkirakan peningkatan yang lebih tinggi dari pengeluaran lokal dibandingkan dengan masa pra-COVID. Karena barang mewah sekarang lebih mudah diakses di daratan Tiongkok melalui perluasan toko selama bertahun-tahun secara nasional dan di Hainan." kata Kepala Peneliti Sandalwood, Agnes Xu.
Merek-merek produk mewah kenamaan dunia pun kini tengah bersiap menghadapi dampak dari kondisi tersebut. Salah satunya Procter & Gamble Co. (P&G) yang mengeluarkan produk perawatan kulit mewah SK-II, serta perusahaan produk-produk mewah Moët Hennessy Louis Vuitton (LVMH).
Simak juga Video: Potret Keramaian Pengunjung Tembok Besar China di Liburan Hari Buruh
(eds/eds)