Seluruh pengusaha industri hulu-hilir ekosistem pertembakauan sepakat meminta diadakannya Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panja Komisi IX DPR RI. Mereka ingin membahas mengenai Pasal Pengamanan Zat Adiktif Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.
Seperti diketahui belakangan ini ramai soal RUU Kesehatan pasal 154 terkait Pasal Pengamanan Zat Adiktif yang menyamakan tembakau dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol. Hal ini dinilai telah menimbulkan gejolak dan ancaman bagi keberlangsungan industri rokok secara keseluruhan.
Dari sisi hulu, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) juga menilai Pasal Pengamanan Zat Adiktif dalam RUU Kesehatan melanggar hukum. APTI menekankan bahwa dampak polemik regulasi ini bukan hanya ke industri hasil tembakau (IHT).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Industri mati, kami petani tembakau mati. Tembakau jelas komoditas legal. Kami kecewa, di saat kami sedang menanam tembakau, diombang-ambingkan regulasi. Kalau kami tidak bisa menanam, kami mau seperti apa," ujar Samukrah, Ketua DPC APTI Pamekasan dalam keterangannya, Kamis (1/6/2023).
Menurutnya sampai saat ini, belum ada komoditi di musim kemarau yang dapat memberikan pendapatan sebesar tembakau. Karena itu Samukrah berpendapat harusnya negara melindungi keberadaan para petani tembakau, bukan sebaliknya.
Sementara itu, Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSPRTMM) SPSI juga turut berkomitmen memperjuangkan masa depan ekosistem pertembakauan yang sedang ditekan regulasi diskriminatif.
"Kalau ada regulasi yang menghancurkan sawah ladang kami, pasti kami lawan. Kami, para pekerja akan terus mengawal dan memperjuangkan mata pencaharian kami," kata Sekjen FSPRTMM SPSI, Iyus Ruslan.
"Menyamakan tembakau dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol berarti menyamakan kami dengan pekerja ilegal. Apakah pemerintah mampu menyediakan lapangan pekerjaan baru?" tegasnya lagi.
Senada dengan mereka, Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), Heri Susianto menekankan bahwa industri selalu menaati setiap regulasi pertembakauan yang diterapkan pemerintah. Namun, pada praktiknya, IHT masih terus ditekan bukan diberikan perlindungan.
"Kami terus berupaya mengawal masa depan ekosistem pertembakauan. Jangan sampai pembuat kebijakan semena-mena, tidak melihat dan mendengarkan realita di lapangan," ujar Heri.
(zlf/zlf)