Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap penyaluran bantuan sosial (bansos) sejumlah Rp 185,23 miliar terindikasi tidak tepat sasaran. Hal ini tertuang dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2022.
"Penyaluran bansos sebesar Rp 185,23 miliar terindikasi tidak tepat sasaran," tulis laporan itu, seperti dilihat detikcom Selasa (20/6/2023).
Adapun rincian bansos itu mencakup program BLT migor dan BLT BBM yang tidak sesuai ketentuan. Dilaporkan ada Aparatur Sipil Negara (ASN) yang turut menikmati bansos.
Dituliskan juga buruh bergaji di atas Upah Minimum Provinsi (UMP) ikut menerima bansos. Lalu, orang yang sudah meninggal dunia masih berstatus sebagai penerima bansos.
"Terdapat penetapan dan penyaluran bantuan kepada Aparatur Sipil Negara (ASN), pendamping sosial, tenaga kerja dengan upah di atas Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), penerima bantuan terindikasi meninggal dunia, memiliki jabatan/usaha terdaftar di database AHU, dan terindikasi menerima bantuan ganda," tulis laporan itu.
Selain itu, atas penetapan dan penyaluran bansos Program Keluarga Harapan (PKH) terdapat Keluarga Penerima Manfaat (KPM) PKH yang bermasalah tahun 2021 namun masih ditetapkan sebagai penerima bansos tahun 2022. Serta, KPM yang sudah mampu, dan menolak bantuan, lalu ASN yang sudah mengajukan pengunduran diri masih masuk dalam data salur.
Terkait ini BPK merekomendasikan Kementerian Sosial (Kemensos) melalui Dirjen yang menangani bansos Program Sembako, PKH, serta BLT Migor dan BLT BBM agar:
1. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) terkait supaya lebih cermat dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai ketentuan.
2. Direktur terkait untuk menyusun SOP yang mengatur mekanisme feedback data penyaluran
3. Direktur dan PPK berkoordinasi dengan pihak terkait untuk melakukan verifikasi dan validasi kelayakan data KPM bansos yang terindikasi bermasalah
(ara/ara)