Kementerian Perdagangan (Kemendag) mau meluncurkan bursa komoditas CPO. Rencana ini mundur dari target awal Juni 2023 dan hingga kini belum ada kabar kapan bursa CPO diluncurkan. Meski begitu, rencana pemerintah meluncurkan bursa komoditas CPO ini dinilai memiliki kelebihan dan kekurangan.
Vice President for Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani menilai bursa komoditas CPO yang digagas pemerintah ini secara umum bagus. Karena untuk menghidupkan transaksi perdagangan komoditas CPO di Indonesia mengingat kita merupakan produsen CPO dunia.
Namun dia mengingatkan agar pemerintah tidak melakukan pemaksaan atau mewajibkan pelaku usaha untuk bertransaksi melalui bursa komoditas CPO. Biarkan transaksi yang dilakukan para pelaku usaha berlangsung alamiah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi itu dilakukannya seharusnya dengan sukarela atau volunteer, bukan secara mandatory. Pelaku usaha bertransaksi di situ tidak ada pemaksaan. Ibaratnya saya mau beli beras di Pasar Jatinegara, Pasar Rumput Manggarai, di Pasar Minggu itu kan terserah saya. Yang saya dengar itu kan semuanya transaksinya wajib lewat situ (Bursa Komoditas CPO)," kata Dendi dalam keterangannya, Selasa (11/7/2023).
Dendi beralasan, ada jenis transaksi CPO yang kurang pas apabila dipaksakan melalui bursa. Misalnya, kata dia, ada beberapa perusahaan besar yang melakukan kontrak pembelian CPO dalam jangka panjang. Perusahaan seperti ini memerlukan kepastian supply CPO dalam jumlah tertentu secara cepat dan barangnya berkualitas. Jenis transaksi seperti itu tidak cocok melalui bursa.
"Misalnya Unilever itu biasa punya kontrak jangka panjang sama produsen CPO. Dia juga kan butuh supplier yang punya kredibilitas, bisa jaga delivery time yang cepat, berkualitas. Yang kayak-kayak gitu kan dia nggak lewat spot market, tapi lewat kontrak jangka panjang. Artinya nggak boleh ada pemaksaan, ya biarin saja semua berjalan alamiah," papar Dendi.
Menurut Dendi, jika kita mengacu pada Bursa Derivatif Malaysia dan Bursa Komoditas Rotterdam, mereka juga tak melakukan mandatory atau memaksakan kepada pelaku usaha. "Semuanya berlangsung sukarela. Kita harus kembali ke filosofi dasar bahwa perdagangan itu tidak ada pemaksaan," katanya.
Dendi mengingatkan ke Kemendag agar lebih berhati-hati dan tidak gegabah dalam menerapkan aturan perdagangan CPO melalui bursa CPO ini. "Sebaiknya itu voluntary, nggak bisa pemaksaan. Kalau pemaksaan repot, nggak bakalan bisa ketampung juga," tegas Dendi.
Sejatinya, kata Dedi, transaksi komoditi lewat bursa itu biasanya volume barang yang ditransaksikan jumlahnya tidak banyak. Walaupun demikian harganya bisa menjadi patokan.
Misalnya saja di komoditas minyak bumi, transaksi yang dilakukan melalui bursa itu jumlahnya kecil dibandingkan dengan total minyak bumi yang ditransaksikan. "Yang perlu dilakukan pemerintah menurut saya yakni membuat pasar yang nyaman. Pemerintah cukup membuat regulasi yang baik sehingga pasarnya berlangsung fair," katanya.
Kemendag, kata Dendi, perlu memperhatikan sejumlah hal penting dalam pembentukan dan pengimplementasian bursa CPO ini. Di antaranya, pemerintah perlu menentukan lembaga pengelola bursa CPO yang mampu menciptakan pembentukan harga yang stabil, transparan dan benar-benar mencerminkan kondisi pasar CPO.
Pemerintah juga harus bisa menyiapkan instrumen untuk mendukung berlangsungnya bursa CPO ini. Misalnya saja keberadaan hedging (lindung nilai), dan lembaga finansial sebagai penopang transaksi berjangka perlu disiapkan dan dikelola dengan baik dan transparan.
Biaya transaksi dalam bursa CPO Indonesia juga harus kompetitif agar dapat bersaing dengan Bursa Derivatif Malaysia dan Bursa Komoditas Rotterdam sehingga tidak memberikan biaya tambahan bagi pembeli dan penjual.
(das/das)