PT Perkebunan Nusantara III (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) punya sejarah panjang di Indonesia. Dimulai dari nasionalisasi perusahaan milik Belanda pada 1958 lalu, hingga upaya transformasi menjadi holding perkebunan negara di 2014 yang disebut membawa PTPN dari buntung jadi untung.
Direktur Utama PTPN III (Persero) Mohammad Abdul Ghani mengungkapkan sepanjang sejarahnya, PTPN terbagi berdasarkan wilayah kerja dari PTPN 1 di Aceh hingga PTPN 14 di Sulawesi untuk wilayah Indonesia timur. Namun, pada 2014 transformasi dilakukan dengan melakukan restrukturisasi berupa pembentukan holding perkebunan.
"Kekuatan yang bersatu itu kayak lidi yang satu ikat itu lebih kuat daripada yang terpisah-pisah," ungkap Abdul Ghani dikutip dari tayangan Blakblakan detikcom, Kamis (27/7/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, Abdul Ghani mengakui sepanjang 2014-2019, cita-cita dasar pembentukan holding belum terlaksana. Pasalnya, masing-masing PTPN masih mengatur operasionalnya sendiri hingga muncul ego sektoral 'raja-raja kecil'.
Menurutnya, transformasi mulai terus digenjot di 2019 pada masa kepemimpinan Menteri BUMN Erick Thohir. Pihaknya pun menggandeng konsultan dari Boston Consulting Group untuk membantu akselerasi transformasi PTPN.
"Kami dipanggil, ditanya bagaimana permasalahannya, terus apa yang harus dilakukan, lalu kita diskusi sama beliau. Maka sampailah pada satu pemikiran oleh beliau, kita harus lakukan transformasi PTPN. Nah itu cikal bakalnya," tegasnya.
"Terus terang sebelumnya dari mulai Bapak Presiden, Pak Menteri, semua itu lihat PTPN ini sudah gelap gitu. Sehingga Pak Presiden sampai berpikir dulu, 'wah ini karyawan kasih tanah lah supaya bisa hidup'. Tapi pasti beliau sudah (tahu), tahun terakhir ini sudah mulai membaik," sambungnya.
Ia menjelaskan sebelumnya PTPN berada di jurang kerugian dengan kewajiban membayar bunga utang sebesar Rp 4 triliun setiap tahunnya karena besaran utang mencapai Rp 40 triliun. Abdul Ghani menambahkan Earning Before Interest, Tax, Depreciation, and Amortization (EBITDA) PTPN bahkan tidak mencapai Rp 2 triliun.
"Dari tahun 2015-2020 kerugiannya sekitar Rp 5,7 triliun, tetapi laba kita dalam 2 tahun terakhir di 2021 itu Rp 4,6 triliun tahun lalu Rp 6 triliun. Kerugian di 6 tahun pertama sudah ditutup oleh 2 tahun terakhir. Keuntungan 2 tahun terakhir harus kita akui atas dukungan dari perbankan, perbaikan tata kelola, dan ini jadi sejarah di sepanjang perjalanan PTPN," paparnya.
Namun dengan bantuan pemegang saham dan konsultan bisnis, pihaknya melakukan sejumlah langkah yang menjadi bagian dari upaya transformasi salah satunya restrukturisasi keuangan. Hal ini pun membuat upaya transformasi PTPN disebut lebih terstruktur dan sistematis.
"Mulai terjadi peningkatan di 2021, PTPN berada di jalur yang benar dalam transformasi karena dukungan pemegang saham yang berkaitan dengan restrukturisasi keuangan. Menurut saya itu mandatory, tanpa hal ini belum bisa (transformasi)," jelas Abdul Ghani.
Ia meyakini dengan tata kelola perusahaan yang semakin baik, arah transformasi ini bisa berdampak pada operasional dan finansial perusahaan seperti yang tampak dalam beberapa tahun terakhir. Abdul Ghani menambahkan transformasi PTPN juga terus dilakukan guna meningkatkan produktivitas dan menurunkan cost.
Sebagai bagian dari transformasi, PTPN juga akan melakukan melakukan konsolidasi dari masing-masing anak usaha. Beberapa di antaranya penggabungan PTPN III, V, VI, dan XIII akan bergabung ke dalam PTPN IV sebagai Sub Holding PalmCo. Serta PTPN II, VII, VIII, IX, X, XI, XII, dan XIV akan bergabung ke dalam PTPN I atau nantinya dikenal sebagai Sub Holding SupportingCo.
(akn/ega)