Apa Itu Force Majeure? Ini Pengertian dan Dasar Hukumnya

Apa Itu Force Majeure? Ini Pengertian dan Dasar Hukumnya

ilham fikriansyah - detikFinance
Minggu, 06 Agu 2023 05:15 WIB
Ilustrasi contoh membuat proposal bisnis.
Foto: Romain Dancre/Unsplash
Jakarta -

Force majeure merupakan salah satu cara agar dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Namun, tak semua orang bisa mengambil tindakan force majeure karena ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi.

Istilah ini cukup umum dipakai dalam dunia perbankan. Biasanya, debitur tidak mampu menjalankan kewajibannya kepada pihak kreditur karena ada hal-hal yang tak bisa dicegah.

Lantas, apa sih yang dimaksud force majeure? Lalu apa saja syarat-syaratnya? Simak pembahasannya secara lengkap dalam artikel ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengertian Force Majeure

Force majeure adalah keadaan memaksa (overmatch) yang menyebabkan debitur tidak bisa menjalankan kewajibannya kepada pihak kreditur karena terjadi suatu hal yang di luar kuasa mereka. Dalam bahasa Indonesia, istilah ini disebut dengan keadaan kahar.

Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, keadaan kahar adalah kejadian yang secara rasional tidak dapat diantisipasi atau dikendalikan oleh manusia. Misalnya, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, kebakaran, hingga banjir.

ADVERTISEMENT

Dilansir situs ocbcnisp.com, pada umumnya klausul force majeure hampir selalu ada di dalam kontrak perjanjian antara dua belah pihak, yakni debitur dan kreditur. Cara ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi bila mana terjadi hal yang tak bisa diprediksi dan dicegah di masa depan.

Pada intinya, dengan adanya force majeure maka pihak debitur bisa dibebaskan dari seluruh kewajiban kepada kreditur.

Dasar Hukum Force Majeure

Dasar hukum mengenai force majeure di Indonesia telah ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 1244 dan Pasal 1245. Berikut bunyi pasal tersebut:

1. Pasal 1244 KUHPer

"Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga atau yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya."

Artinya, debitur wajib dihukum apabila tidak dapat membuktikan ketidaksanggupannya dalam memenuhi perjanjian dan kewajiban kepada kreditur. Dengan begitu, debitur wajib mengganti biaya, kerugian, dan bunga sebagai hukuman.

2. Pasal 1245 KUHPer

"Tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya."

Artinya, tidak ada penggantian biaya kerugian dan bunga jika debitur dalam keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, sehingga debitur tidak bisa melaksanakan kewajibannya.

Dari ketentuan tersebut, ada lima hal yang menyebabkan debitur tidak bisa melakukan penggantian biaya, kerugian, dan bunga, yakni:

  1. Terjadi suatu peristiwa yang tidak terduga (tidak termasuk dalam asumsi dasar dalam pembuatan kontrak).
  2. Peristiwa yang terjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan pada pihak debitur.
  3. Peristiwa yang terjadi di luar kesalahan para pihak yang terkait.
  4. Peristiwa yang terjadi di luar kesalahan pihak debitur.
  5. Tidak ada itikad yang buruk dari pihak debitur.

Jadi, adanya force majeure bukan menjadi alasan bagi debitur untuk berlindung dan lari dari tanggung jawabnya kepada kreditur.

Jenis-jenis Force Majeure

Force majeure merupakan suatu kondisi di luar prediksi dan kuasa manusia sehingga tidak bisa dicegah. Mengutip e-jurnal milik tulungagung.ac.id, adapun jenis-jenis force majeure, yakni sebagai berikut:

1. Force Majeure Absolut

Force majeure absolut adalah kondisi ketika hak dan kewajiban debitur tak bisa dilakukan sama sekali, mau bagaimanapun kondisinya. Kondisi ini sering disebut juga dengan impossibility.

Contohnya, saat barang yang menjadi objek dalam perikatan kedua belah pihak sudah tidak bisa ditemukan lagi di pasaran karena produksinya telah dihentikan.

2. Force Majeure Relatif

Force majeure relatif atau disebut juga impracticality adalah kondisi di mana pemenuhan hak dan kewajiban secara normal sudah tidak bisa dilakukan lagi. Sebagai contoh, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melarang kegiatan ekspor impor secara tiba-tiba. Namun, barang tersebut masih bisa dikirim ke luar negeri jika dibawa langsung oleh penjual.

3. Force Majeure Permanen

Sesuai namanya, force majeure permanen artinya seluruh hak dan kewajiban kedua belah pihak secara resmi sudah tidak bisa dijalankan lagi hingga kapan pun.

Sebagai contoh, di dalam kontrak pembuatan sebuah karya seni, tiba-tiba seniman mengalami sakit parah dan tak ada peluang untuk sembuh. Alhasil, perjanjian tersebut tak bisa dijalankan.

4. Force Majeure Temporer

Jenis force majeure yang terakhir adalah temporer, di mana hak dan kewajiban kedua belah pihak tidak bisa dilaksanakan sementara waktu, namun ke depannya mungkin masih bisa dipenuhi kembali.

Misalnya, perjanjian produksi sejumlah barang di pabrik harus dihentikan karena ada demo. Setelah keadaan kondusif, maka pabrik akan kembali beroperasi.

Itu dia pembahasan mengenai force majeure mulai dari pengertian, dasar hukum, dan jenis-jenisnya. Semoga artikel ini dapat menambah pengetahuan detikers!




(ilf/fds)

Hide Ads