Puluhan Pekerja Migran Indonesia (PMI) atau TKI yang bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) di Hong Kong melakukan protes di depan Konsulat Indonesia di Hong Kong pada Minggu (13/8) pagi. Mereka menuntut pemerintah menangani praktik pembebanan berlebih agen penempatan ART yang berdampak pada TKI dan majikan.
Demonstrasi itu terjadi di tengah kebingungan tentang siapa yang harus menanggung biaya tambahan setelah Asosiasi Agen Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (Aspataki) mengaku bakal menegakkan aturan bahwa pemberi kerja harus membayar tagihan administrasi ketika mempekerjakan pembantu baru. Perincian tentang apakah bos lokal harus membayar penuh HK$ 20.000 atau sekitar Rp 39 juta masih belum jelas hingga Jumat (11/8).
Konsulat Indonesia dan Departemen Tenaga Kerja Hong Kong mengatakan kebijakan yang ada tidak akan berubah. Sekretaris Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Chris Sun Yuk-han juga menambahkan Aspataki tidak mewakili pemerintah Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu demonstran, Leni Sumarti (43) yang telah bekerja di Hong Kong selama 20 tahun mengatakan mendukung pekerja dan majikan melawan agen yang meminta biaya tambahan.
"Kami di sini hari ini karena kami ingin uang kami kembali. Mereka tiba-tiba menerapkan ini tanpa berkonsultasi dengan kami, tetapi kamilah yang harus tinggal dan bekerja dengan majikan kami setiap hari. Kami merasa seperti diperdagangkan seperti komoditas," katanya dikutip dari South China Morning Post, Senin (14/8/2023).
Pengunjuk rasa lainnya, yakni Bimo (43) juga mengklaim perusahaan perekrutan akan terus menuntut biaya dari pekerja sebelum mereka datang ke Hong Kong, meski memungut biaya administrasi penuh dari majikan lokal.
"Sebenarnya, meski majikan harus membayar ke agen sekitar HK$ 20.000, kami juga masih harus membayar lebih dari biasanya. Jadi di Indonesia ada overcharging, dan pemberi kerja juga kena overcharge," ujarnya.
Bimo pun meminta otoritas Indonesia dan Hong Kong untuk memastikan kedua belah pihak tidak ditagih berlebihan lagi. Di samping itu, dia juga meminta transparansi tentang apa yang dibayar oleh pekerja dan majikan kepada agen.
"Saya tahu ini karena saya bertanya kepada majikan saya: 'Ketika Anda mempekerjakan saya, apakah agen memberi tahu Anda untuk apa uang ini?' Dia mengatakan kepada saya bahwa mereka tidak mengatakannya," jelas Bimo.
Untuk diketahui, kebingungan terjadi awal bulan ini ketika agen-agen Indonesia bertemu dengan pejabat tenaga kerja Hong Kong dan mengatakan akan menegakkan peraturan baru biaya nol untuk pekerja. Dalam peraturan tersebut, majikan diharuskan menanggung biaya penuh perekrutan, alih-alih membayar bagian mereka saat ini sebesar HK$ 7.000-13.000, sedangkan pekerja hanya membayar biaya pelatihan.
(aid/ara)