Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal RI Bahlil Lahadalia meminta pemerintah mengkaji ulang implementasi Global Minimum Tax/ GMT (agreement). Ia menyebut penerapan GMT atau Pajak Minimum Global ini hanya akan menguntungkan negara-negara tertentu, yakni negara maju yang daya saing investasinya lebih kuat.
"Dengan adanya ketentuan tax minimum global tadi, maka tax holiday itu maksimal 15%. Dari kesepakatan tadi memutuskan ini butuh kajian ulang," tegas Bahlil dalam keterangan tertulis, Minggu (20/8/2023).
"Jangan sampai ini diimplementasikan kemudian menguntungkan satu kelompok negara tertentu. Ini kita nggak mau," imbuhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai Ketua AIA Council (ASEAN Investment Area), Bahlil menyampaikan hal tersebut dalam pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Ministers' Meeting) di Semarang, Sabtu (19/8).
Ia menambahkan penerapan GMT saat ini belum apple to apple antara negara maju dan berkembang. Menurutnya, negara maju harus membuka ruang bagi negara berkembang untuk menarik investasi demi mencapai kemajuan.
"Kita ingin agar negara maju juga harus memberikan ruang bagi negara berkembang untuk mempercepat penyesuaian dirinya sehingga ketika penerapan tax income global, sudah apple to apple," ujarnya.
Namun untuk menarik investasi, ia menilai negara berkembang saat ini masih membutuhkan pemanis. Oleh karena itu, kebijakan perpajakan negara maju tak bisa dipukul rata dengan negara berkembang.
"Kita sekarang lagi kajian, harus ada pemanis (sweetener) lain. Jujur bahwa tidak apple to apple dong negara maju mau jadikan baseline yang sama dengan negara berkembang," ucap Bahlil.
Dinilai Hambat Hilirisasi
Lebih lanjut, Bahlil menilai program hilirisasi yang sedang digalakan pemerintah akan terganggu bila kebijakan GMT diterapkan terlalu dini. Sebab, investor negara maju akan kembali berinvestasi ke negara mereka.
"Tax minimum global yang 15% itu maka mau tidak mau negara berkembang yang lagi mendorong hilirisasi, akan mengalami hambatan besar sebab pemilik modal yang punya teknologi dan menanamkan modal itu kemudian akan berinvestasi di negara mereka," papar Bahlil.
Ia mengatakan kebijakan GMT akan memaksa negara-negara berkembang mengirim bahan baku ke negara-negara maju. Sehingga GMT menurutnya hanyalah akal-akalan negara-negara maju.
"Ilmu ini (akal-akalan) kita sudah paham. Jangan lagi anggap kita tak paham," ujarnya.
Berbeda dengan Bahlil, dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR pada Selasa (6/6) lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut berbagai negara tengah bersiap menerapkan kesepakatan pajak minimum global (global minimum tax).
Sri Mulyani mengatakan Indonesia sejauh ini masih menggunakan insentif fiskal untuk meningkatkan daya saing investasi. Namun ia menilai berbagai skema insentif fiskal juga terus diasah agar efektif menarik investasi.
"Ini yang akan menjadi salah satu fokus karena dunia sekarang juga mulai bertahap melaksanakan global taxation yang bertujuan untuk mengurangi berbagai insentif fiskal untuk mencegah race to the bottom," pungkasnya.
(ega/ega)