Pemerintah China secara resmi larangan impor makanan dan produk laut dari Jepang. Hal ini dilakukan usai Negeri Sakura itu melakukan pembuangan air radioaktif sisa pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima ke laut Pasifik.
"Pemerintah sangat khawatir terhadap risiko kontaminasi radioaktif yang dibawa oleh makanan dan produk laut Jepang yang diekspor ke China," kata seorang pejabat bea cukai China dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari Reuters, Kamis (24/8/2023).
Keputusan ini tentu dinilai akan sangat mempengaruhi perekonomian para nelayan Jepang, mengingat China merupakan pasar ekspor hasil laut terbesar mereka. Barulah setelah itu Hong Kong menjadi tujuan ekspor terbesar keduan bagi Jepang.
"Komunitas nelayan Jepang merasa semakin cemas ketika mereka menyaksikan momen (pembuangan air radioaktif) ini meskipun ada jaminan dari pemerintah," kata kepala Koperasi Perikanan Jepang dalam sebuah pernyataan.
Tidak tanggung-tanggung,menurut data pemerintah Jepang penjualan hasil laut ke China dan Hong Kong menyumbang 42% dari total seluruh ekspor hasil laut mereka sepanjang 2022 kemarin. Secara khusus, total penjualan hasil laut Jepang ke China ini mencapai US$ 600 juta atau Rp 9,18 triliun (kurs Rp 15.300/dolar AS).
Di sisi lain, terlepas dari seluruh polemik ini Pemerintah Jepang tetap ngotot untuk melepaskan air radio aktif ini ke laut. Sebab pembuangan air radioaktif yang dilakukan hari ini sejatinya sudah disetujui oleh pemerintah sejak dua tahun lalu.
Proses ini dinilai krusial dalam rangka menonaktifkan PLTN yang dioperasikan oleh Tokyo Electric Power Company (TEPCO) imbas tsunami pada 2011 lalu. Sekitar pukul 13.03 waktu setempat, pemerintah Jepang telah melepaskan kurang-lebih 7.800 kubik air radioaktif.
Air tersebut akan mengandung sekitar 190 becquerel (unit perhitungan radioaktif) tritium per liter. Jumlah ini dinilai sudah jauh di bawah batas minum Organisasi Kesehatan Dunia yaitu 10.000 becquerel per liter.
Karenanya Jepang memastikan bila pembuangan air limbah tersebut sudah sangat aman bagi lingkungan. Bahkan menurut mereka Badan Energi Atom Internasional (IAEA), yang bertindak sebagai lembaga pengawas nuklir PBB juga telah memberikan lampu hijau untuk rencana tersebut pada bulan lalu.
(fdl/fdl)