Ahli Hukum Pidana UNPAD, Nella Sumika Putri mengatakan, bila yang dilakukan oleh perusahaan itu memang melaksanakan aturan hukum yang dibuat pemerintah, maka apa yang dilakukan perusahaan tersebut sangat bisa dibenarkan. Ada alasan pembenar untuk melakukan perbuatan itu, menurut Nella.
"Contohnya, ada sebuah produk ada aturan HET-nya maksimal Rp 1.000, namun karena keadaan tertentu ada suatu aturan lain yang membuat orang boleh jual di atas HET contoh dia jual Rp 1.500, nah yang dilakukan orang itu dibenarkan oleh hukum, karena ada aturan yang dibuat oleh pemerintah," tutur dia mencontohkan.
Sebelumnya, hasil kajian yang dilakukan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), kebijakan pengendalian harga minyak goreng sudah salah sasaran sejak awal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Konsumsi minyak goreng rumah tangga 61% merupakan minyak curah, namun kebijakan yang dilakukan adalah subsidi pada minyak kemasan. Di sisi lain, infrastruktur untuk pelaksanaan subsidi minyak goreng kemasan dianggap lebih baik dibandingkan infrastruktur minyak goreng curah," kata Peneliti Indef, Rusli Abdullah Senin (31/7/2023) silam.
Rusli memandang kebijakan subsidi tersebut pada akhirnya memunculkan panic buying pada pasar ritel modern akibat respons penurunan harga yang lebih cepat dibandingkan di pasar tradisional.
Padahal, kapasitas pasar ritel modern hanya bisa memenuhi kapasitas konsumsi nasional sekitar 10% dari kebutuhan rumah tangga sebesar 3,9 juta kilo liter per tahun atau 325 juta liter per bulan.
Artinya, pasar ritel modern dengan jaringan distributornya hanya mampu menyediakan sekitar 325 ribu liter per bulan atau 3,9 juta liter per tahun. Faktanya, 61% atau 2,4 juta kilo liter per tahun kebutuhan minyak goreng ada di jenis minyak goreng curah.
Faktor infrastruktur yang menjadi penyebab tidak efektifnya subsidi minyak goreng sejalan dengan fakta kebutuhan minyak goreng rumah tangga yang sebagian besar dalam bentuk minyak curah.
"Kritik atas kebijakan subsidi muncul. Salah satu sebabnya adalah kebijakan subsidi ini dinilai tidak efektif karena bias pasar atau segmen," tegasnya.
Kajian INDEF itu sejalan dengan temuan yang diperoleh Ombudsman Republik Indonesia. Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika mengatakan, penanganan perkara ini tak bisa hanya dilihat dari satu sisi. Ia menyoroti soal strategi pengendalian harga minyak goreng yang semuanya digerakkan berdasarkan aturan yang dibuat pemerintah.
"Di dalam Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) kan sudah jelas, jawaban Ombudsman terkait masalah ini. Pangkal mula dari persoalan ini adalah ketidak mampuan Kemendag dalam memitigasi dampak kenaikan harga CPO," kata Yeka dihubungi, Jumat (25/8/2023) lalu.
Ia juga menyinggung kerap bergantinya kebijakan pemerintah kala itu dalam rangka mengendalikan harga minyak goreng yang justru berpotensi menimbulkan kebingungan di tingkat pelaksanaan.
"Banyaknya jumlah peraturan menteri yang diterbitkan dalam kurun waktu yang relatif sangat singkat untuk mengendalikan permasalahan minyak goreng, namun tidak mampu mengatasi permasalahan minyak goreng yang dihadapi dalam waktu cepat. Sehingga menimbulkan kerugian pelaku usaha dan masyarakat," ujarnya.
(rrd/rir)