Pengusaha mengaku khawatir pengetatan importasi yang akan dilakukan pemerintah berdampak besar kepada pasar dari brand besar yang ada di Indonesia.
Seperti kita ketahui, sejumlah merek pakaian ternama dunia juga banyak di Indonesia, Zara, Louis Vuitton (LV), Gucci, Channel, Nike, Burberry, Dior, Uniqlo, Hugo Boss, Furla, dan lain sebagainya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (Apregindo) Handaka Santosa, mengatakan, jika kebijakan pemerintah malah berdampak menghambat masuknya barang impor merek-merek besar, maka dikhawatirkan jumlah barang-barang tersebut akan berkurang.
Jika jumlah barang yang masuk lebih sedikit dari permintaan, dikhawatirkan kosumen atau pasar dari brand besar tersebut akan lari mencari barang ke luar negeri. Adapun konsumen dari barang impor yang resmi biasanya masyarakat menengah ke atas.
"Pakaian itu ada dua jenis produknyam ada yang generic atau murah, ada yang bermerek/branded, atau mahal. Kalau bermerek itu lebih tinggi harganya, kalau dia tidak ada, orang belanja ke luar negeri, devisa kita keluar. Kalau orang kaya kan tinggal ke luar negeri cari ke luar," ungkap dia kepada detikcom, di Jakart Pusat, Senin (9/10/2023).
Handaka menegaskan, pengusaha atau perusahaan yang mengelola sejumlah merek ternama dunia itu telah memenuhi persyaratan impor yang ditentukan pemerintah. Terutama terkait dengan bea masuk, ketetapan berbahasa Indonesia di label merek, hingga ada keterangan negara asal barang.
"Produk yang legal itu, ada pembayaran bea masuk, PPh, BMTP rupiah per pcs. Kita itu sudah 25% bea masuk Indonesia, yang lain 0 (Singapura), 0 (Malaysia), 15% (Filipina-Kamboja). Ini kan sudah mencoba memprotect harga dalam negeri supaya bea masuknya kena sekian," ujar dia.
"Terus dikenakan lagi bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) jadi lebih besar lagi, karena setelah kena 25% bea masuk, dan BMTP itu per-pcs tergantung harga barang," tambahnya.
Dengan berbagai biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha untuk memasukan sejumlah merek ternama itu, maka jangan heran harga produk tersebut di Indonesia lebih mahal dibandingkan di negara lainnya.
Selain itu, para pengusaha atau importir barang merek besar tersebut juga mematuhi ketetapan bahwa barang impor harus berlabel bahasa Indonesia. Hal tersebut karena telah diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 29 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan.
"Label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus menggunakan bahasa Indonesia yang jelas, mudah dibaca, dan mudah dimengerti," tulis pasal 21 ayat 1.
"Label berbahasa Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam pasal 22, memuat keterangan mengenai nama barang, asal barang, identitas pelaku usaha, dan informasi lainnya sesuai dengan karakteristik barang." tulis pasal 23 ayat 1.
Kemudian, untuk ketetapan baju anak-anak dan mainan, pemerintah juga telah mengatur harus terdapat keterangan sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI). Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian No 7 tahun/M-Ind/Per/2/2014 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Persyaratan Zat Warna Zao, Kadar Formalidehida dan Kadar Logam terekstraksi Pada Kain untuk Pakaian Bayi Secara Wajib.
Berdasarkan pantauan detikcom, ditemukan sejumlah toko di Tanah Abang khusus baju anak-anak, labelnya berbahasa Taiwan dan tidak ada label SNI.
(ada/rrd)