Cara Pedagang Tempe Bertahan di Tengah Tingginya Harga Kedelai

Cara Pedagang Tempe Bertahan di Tengah Tingginya Harga Kedelai

Retno Ayuningrum - detikFinance
Sabtu, 21 Okt 2023 14:00 WIB
Penjual Tempe di Pasar
Penjual Tempe di Pasar/Foto: Retno Ayuningrum/detikcom
Jakarta -

Harga kedelai melonjak tinggi seiring menguatnya nilai tukar dolar AS. Saat ini, nilai tukar dolar AS terhadap rupiah mendekati Rp 16.000. Kenaikan harga kedelai membuat sejumlah pedagang tahu dan tempe dilema.

Pasalnya, harga tempe diprediksi ikut terkerek. Namun, sejumlah pedagang tempe memilih untuk mengurangi penjualan alih-alih menaikkan harga atau mengurangi ukuran tempe.

Titin, pedagang tempe di Pasar Serdang, Kemayoran mengaku tidak bisa menaikkan harga jual tempe ataupun mengurangi ukurannya karena bisa berdampak pada daya beli konsumen yang menurun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sekarang gini, masih utuh (ukurannya). Dinaikin pun nggak laku, pasar pun sekarang sepi banget. Daya beli masyarakat tuh kurang, masih utuh aja nggak laku, gimana lagi dinaikkan?" kata Titin kepada detikcom, Jumat (20/10/2023) kemarin.

Menurutnya, kenaikan harga kedelai saat ini sudah menyentuh Rp 1.250.000 per kuintal dari sebelumnya Rp 1.050.000 per kuintal. Kenaikan tersebut juga berimbas pada omzetnya. Dalam sehari, dia bisa mendapatkan Rp 900 ribuan, belum termasuk bahan produksi tempe, seperti kedelai, daun, plastik, dan lainnya.

ADVERTISEMENT

"Terakhir sekitar dua bulan yang lalu itu, paling murah Rp 1.050.000 sekarang paling murah Rp 1.200.000 per kuintal. Ya, berarti sekilonya naik Rp 2.000. Naik terus nonstop hampir satu bulan (kenaikan). Jadi, kenaikannya tuh setiap hari Rp 10.000, Rp 20.000 gitu," jelasnya.

Akibatnya, dia pun mengurangi produksi tempe dengan menggunakan 50 kg kedelai mentah. Hal tersebut dia lakukan hanya untuk para pelanggannya.

"Intinya sekarang bertahan. Bisa beli kacang alhamdulillah, cuma buat pelanggan, kan cari pelanggan aja susah. Kalau kita nggak dagang, ya pindah ke yang lain. Jadi, ya tuh nggak dapet apa-apa. Kadang nombok belanja, karena produksinya dikurangi. Kadang nggak sampai habis (tempe), makanya dikurangi," jelasnya.

Hal serupa juga dirasakan Pendi, salah satu pedagang tempe di Pasar Sumur Batu. Wanita berusia 48 tahun itu mengaku dilema menjual tempe saat kedelai naik.

Pasalnya, dia lebih memilih mengurangi produksi daripada menaikkan harga jual tempe atau mengurangi ukurannya. Apabila harga jualnya naik, bisa berimbas pada daya beli konsumen yang menurun.

"Tempenya ya dijual segini-gini (tidak dikurangi ukuran) aja. Kalau kedelai naik ya jualnya susah, kurang pembelinya. Jadi, ya akhirnya bikinnya (produksi tempe). kurang, karena kacangnya mahal," kata Pendi kepada detikcom.

Sebelumnya, Pendi bisa memproduksi tempe hingga 80 kg kedelai mentah, kini hanya 50 kg. Kenaikan kedelai juga berdampak pada omzetnya. Dalam sehari, dia mendapatkan Rp 2,5-3 juta, belum dipotong untuk bahan-bahan produksi tempe, seperti kedelai, plastik, daun, dan lain-lain.

"Kalau kedelai naik, ya ngaruh omzetnya. Kalau kedelai naik ya jualnya susah, kurang pembelinya, jadi bikinnya kurang, karena kacangnya mahal," imbuhnya.

Dia berharap harga kedelai bisa kembali stabil sehingga bisa meningkatkan produksi tempe dan omzetnya

Saat ini harga kacang kedelai di sejumlah pasar di Jakarta terus meningkat. Per Jumat (20/10/2023), harga kacang kedelai sudah menyentuh Rp 12.500-13.000 per kg dari sebelumnya Rp 10.000-11.000 per kg.

(ara/ara)

Hide Ads