Tak Cuma Perang Hamas-Israel yang Bikin Investor Ketar-ketir, Apa Lagi?

Tak Cuma Perang Hamas-Israel yang Bikin Investor Ketar-ketir, Apa Lagi?

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Rabu, 25 Okt 2023 08:00 WIB
Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah kembali naik tinggi, mendekati Rp 15.300. Per siang ini pukul 14.45 WIB, dolar AS tercatat tembus ke level Rp 15.265.
Ilustrasi Dolar AS/Foto: Rifkianto Nugroho
Jakarta -

Banyak hal yang dipikirkan para investor akhir-akhir ini, hingga memicu kepanikan pasar. Namun ternyata, selain Perang Hamas-Israel, ada persoalan lain yang luput dari mata publik.

Perang Hamas-Israel yang dimulai pada awal Oktober ini awalnya sempat mengguncang ekonomi global, menyebabkan saham-saham anjlok, nilai shekel Israel merosot, dan harga minyak naik. Tak lama berselang, pasar obligasi AS menguat karena para investor bergegas melindungi portofolio mereka dari risiko geopolitik.

Meski sejumlah investor Wall Street masih khawatir akan kemungkinan perang menyebar ke negara-negara penghasil minyak utama dan mengurangi pasokan minyak mentah global, harga minyak berangsur turun dan tetap jauh di bawah harga tertingginya sejak September lalu ketika penurunan produksi Arab Saudi dan Rusia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah berada pada level tertinggi yang belum pernah terjadi dalam satu dekade terakhir, hal ini menunjukkan bahwa perpindahan dana ke aset-aset yang lebih aman yang terjadi setelah perang masih belum terjadi lagi. Kini, kekhawatiran investor tampaknya telah pudar.

Para investor mengatakan, Wall Street fokus pada apa yang mereka anggap sebagai ancaman yang lebih mendesak yaitu kampanye Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga dan musim pendapatan yang sedang berlangsung.

ADVERTISEMENT

"Kami mengalami sedikit kelebihan informasi," kata kepala investasi di BMO Wealth Management, Yung-Yu Ma dikutip dari CNN, Rabu (25/10/2023).

Menurut data FactSet, 24% perusahaan di S&P 500 telah melaporkan hasil kuartal III-2023, dan 78% di antaranya melampaui ekspektasi. Sementara itu, laporan pendapatan dari perusahaan teknologi Alphabet, Amazon, Microsoft, dan Meta Platforms yang menjadi pendorong terbesar kenaikan tahun ini.

Beberapa investor percaya musim laporan keuangan ini dapat menghidupkan kembali reli tersebut, setelah sepinya pemberitaan perusahaan selama beberapa bulan terakhir yang membantu memacu ketidakpastian di Wall Street.

Saham-saham AS meningkat dengan kuat selama paruh pertama tahun ini, menghilangkan gejolak perbankan regional, krisis plafon utang AS, dan kekhawatiran resesi. Para investor yang tergila-gila dengan kecerdasan buatan menawar harga saham-saham teknologi besar ke tingkat yang sangat tinggi, membantu indeks acuan S&P 500 menyentuh level yang hampir mendekati rekor tertinggi baru di bulan Juli.

Namun reli tersebut terhenti karena data ekonomi menunjukkan sedikit tanda-tanda mereda, meskipun ada 11 kenaikan suku bunga selama 19 bulan terakhir. Meningkatnya inflasi juga memicu kekhawatiran bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunga lebih tinggi, lebih lama, setelah menaikkannya ke level tertinggi dalam lebih dari 22 tahun.

Kekhawatiran tersebut semakin besar setelah The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga tambahan pada pertemuan bulan September lalu dan mengindikasikan akan mempertahankan kenaikan suku bunga hingga tahun depan.

Kekhawatiran perang belum usai. Berlanjut ke halaman berikutnya.

Kekhawatiran Perang Hamas-Israel Belum Sepenuhnya Hilang

Di sisi lain, saat ini pasar terlihat dalam keadaan kurang cerah. S&P 500 sedang bersiap untuk mencatat penurunan bulanan ketiga berturut-turut. Dow Jones Industrial Average telah menyerahkan seluruh kenaikannya untuk tahun ini.

Para investor menilai, penurunan tersebut dapat berlanjut jika perang meningkat atau perekonomian mulai melemah di bawah tekanan kenaikan suku bunga dalam beberapa bulan ke depan, atau keduanya terjadi.

Wall Street belum sepenuhnya mengabaikan potensi dampak perang Israel-Hamas terhadap pasar keuangan. Para investor telah mencari aset yang aman, mulai dari emas, saham utilitas, hingga Bitcoin dalam beberapa pekan terakhir untuk melindungi dari potensi volatilitas jika perang meningkat.

"Anda pasti bisa mengalami penurunan saham sebesar 7-10% jika terjadi lonjakan konflik Timur Tengah yang tidak terduga," kata Kepala Investasi di The Bahnsen Group, David Bahnsen.

Kembali kepada Yung-Yu Ma, ia menilai kondisi ini dapat disertai dengan penurunan imbal hasil jika investor kembali mencari perlindungan pada obligasi, seperti yang cenderung terjadi selama periode ketegangan geopolitik.

Adapun perusahaannya sendiri memilih meningkatkan alokasinya pada obligasi pemerintah jangka panjang pada minggu ini untuk mengunci imbal hasil yang tinggi saat ini sebelum potensi penurunan.


Hide Ads