Industri penerbangan RI masih dalam kondisi 'terseok-seok' pasca pandemi COVID-19 melanda. Masih ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi maskapai-maskapai penerbangan untuk bangkit dan pulih sepenuhnya.
Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (APJAPI) Alvin Lie mengatakan, industri transportasi udara Indonesia sempat terpuruk kurang lebih selama 3 tahun. Menurutnya, maskapai-maskapai Indonesia sangat luar biasa karena mampu bertahan, di tengah banyaknya maskapai di negara lainnya yang kolaps selama pandemi.
"Sebelum pandemi pesawat Ri beroperasi sekitar 600. Selama pandemi, susut ke 300-an dan pada saat ini sudah mulai tumbuh, yang statusnya serviceable mencapai 419 ini masih di bawah level pra pandemi. Masih banyak tantangan yang dihadapi maskapai kita," kata Alvin, dalam sambutannya di Seminar Hari Penerbangan Nasional di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Jumat (27/10/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tantangan pertama ialah adanya kelangkaan suku cadang. Kondisi ini dipicu oleh kondisi di mana seluruh maskapai yang sebelumnya pesawatnya beristirahat tatkala pandemi, serempak mau diaktifkan sehingga perlu mengganti suku cadang. Selain itu, pesawat juga butuh Maintenance, Repair, and Overhaul (MRO).
"Akibatnya terjadi kelangkaan suku cadang karena pembuatnya tak bisa serta merta naikkan kuantitas. Pelayanan MRO juga tak serta merta bisa dinaikkan kapasitasnya. Terjadilah satu kelangkaan suku cadang, dan kedua antrean panjang MRO. Itulah mengapa pesawat di RI banyak, tetapi yang bisa operasi sedikit karena yang lain menunggu," jelasnya.
Selain itu, kondisi kelangkaan suku cadang yang cukup parah ini malah memunculkan suku cadang KW doi pasaran. Alvin mengatakan, untungnya kondisi ini segera tertangani, vendor yang menjual komponen KW sudah di-blacklist sehingga para penyelenggara MRO sudah bersih.
Tantangan berikutnya ialah nilai tukar rupiah yang terus mengalami pelemahan hingga semakin mendekati Rp 16.000 per US$. Hal ini membuat maskapai terbebani dengan potensi peningkatan biaya operasional.
"Jadi ketika rupiah melemah jadi beban. Terutama hidupnya dari rute domestik, rute internasionalnya tidak seberapa. Rute domestik penghasilannya rupiah karena tiket dijual rupiah, tapi biaya-biayanya banyak dalam dolar AS," ujarnya.
Ditambah lagi, para maskapai penerbangan tak dapat sejak 2019 hingga saat ini tarif batas atas (tba) untuk tiket penerbangan belum mengalami penyesuaian hingga saat ini. Adapun pada saat Keputusan Menhub (KM) No 106 Tahun 2019 diterbitkan, harga avtur pada kala itu Rp 9.243 per liter di Bandara Soekarno Hatta dan nilai tukar rupiah Rp 14.520 per US$.
"Sedangkan harga avtur yang berlaku mulai 15 Oktober sampai dengan 31 Oktober di bandara Soetta sat ini adalah Rp 15.324. Bandingkan, dari Rp 9.243 sekarang Rp 15.324. Kenaikannya sudah sedemikian besar," jelas dia.
(shc/kil)