Ekonomi di Tepi Barat Lumpuh, Warga Palestina Ngeluh Tak Ada Pemasukan

Ekonomi di Tepi Barat Lumpuh, Warga Palestina Ngeluh Tak Ada Pemasukan

Samuel Gading - detikFinance
Rabu, 01 Nov 2023 15:20 WIB
Israeli troops inspect the scene where, according to an Israeli military statement and Army Radio, three Palestinians who fired at Israeli forces were killed by Israeli troops, in Nablus, in the Israeli-occupied West Bank July 25, 2023. REUTERS/Raneen Sawafta
Foto: REUTERS/Raneen Sawafta
Jakarta -

Sejumlah warga di Tepi Barat, Palestina, memberi kesaksian tentang penderitaan yang mereka alami imbas konflik Hamas-Israel. Karena wilayah tersebut diduduki Israel, aktivitas ekonomi lumpuh dan terhambat. Sejumlah tentara bahkan memukuli warga tanpa alasan.

Halte bus yang terletak di pusat kota Ramallah, Palestina itu biasanya ramai dipadati penduduk. Namun, sejak perang Hamas-Israel pecah pada 7 Oktober 2023, kawasan itu sepi. Tidak ada kendaraan yang berlalu lalang.

Sopir bus yang biasanya sibuk membawa penumpang hanya bisa duduk termenung sembari merokok. Sambil menyeruput secangkir kopi, mereka menatap lekat-lekat berita yang terpampang di layar kaca. "Tidak ada pekerjaan," ucap seorang sopir bus, Salek Nakleh (40), kepada Al Jazeera.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salek mengatakan biasanya para sopir bis bisa memperoleh sekitar sebanyak US$ 86 atau Rp 1,3 juta (kurs 15.939) sampai US$ 98 atau Rp 1,5 juta dalam sehari. Namun, sejak perang bergejolak, ia hanya bisa memperoleh paling banyak US$ 24 atau Rp 382 ribu. "Sulit bagi kami memenuhi kebutuhan sehari-hari," bebernya.

Serangan berlanjut Israel di Jalur Gaza diluncurkan seiring meningkatnya kedatangan pasukan dan serangan terhadap warga Palestina di Tepi Barat. Setidaknya tiga juta warga Palestina di Tepi Barat 'dalam keadaan lumpuh' karena terhentinya perekonomian akibat pendudukan tentara Israel.

ADVERTISEMENT

Dari pantauan Al Jazeera, berbagai pos pemeriksaan tersebar di sudut kota. Kafe-kafe kosong. Ruang-ruang kelas di kampus yang tadinya penuh sesak kini sepi. Berbagai produk di rak-rak toko pun mulai berkurang.

Menurut para sopir bis, keluar dari Ramallah juga tidak menjadi solusi. Perjalanan lintas kota sulit dilakukan karena situasi yang terjadi.

"Kami tidak meninggalkan Ramallah. Semua jalan ditutup dan ada pos pemeriksaan di mana-mana. Orang-orang takut, dan kami tidak bisa bertanggung jawab atas nyawa siapapun," kata sopir bus lain, Ali Jamal Taleb (35).

Taleb pun mengisahkan dua minggu yang lalu, ia diserang sejumlah tentara Israel saat hendak berangkat menuju Sinjil, sebuah desa yang terletak 20 kilometer dari Ramallah. Kala itu, ia sedang bersama dua temannya yang berasal dari Gaza.

Tatkala Taleb tiba di dekat desa tersebut, sejumlah tentara tiba-tiba menyetop dan menyuruhnya keluar dari dalam kendaraan tanpa alasan yang jelas.

"Mereka menyandarkan kami ke dinding, mengikat tangan kami ke belakang dan terus memukuli kami. Mereka lalu meninggalkan kami selama dua jam di pinggir jalan. Setelah itu baru mereka melepaskan kami," ucap ayah dari dua anak tersebut kepada Al Jazeera.

"Mereka seolah ingin membalas 'dendam'," sambung Taleb.

Penjualan Pedagang Turun 50%

Pada 7 Oktober, Hamas, yang memerintah Jalur Gaza, meluncurkan serangan ke Israel. Lebih dari 1.400 warga Israel terbunuh dalam serangan itu. Israel merespon hal tersebut dengan meluncurkan misil dan bom ke Jalur Gaza selama tiga minggu berturut-turut.

Hasilnya, sebanyak 7.700 warga Palestina kehilangan nyawa. Sejumlah ini termasuk 3.000 anak-anak. Al Jazeera pun mencatat, sebanyak 15.200 warga Palestina terluka karena serangan Israel. Persoalan ini memicu protes keras dari berbagai belahan dunia. Banyak yang melihat tindakan tersebut sebagai sebuah genosida.

Pasukan Israel pun diketahui turut meningkatkan serangan di kawasan padat penduduk di wilayah Tepi Barat dan Yerusalem Timur yang diduduki Israel. Mulai dari perumahan, perkampungan, sampai kota.

"Pembunuhan warga oleh pemukim bersenjata juga semakin sering terjadi, sehingga menimbulkan ketakutan," tulis Al Jazeera.

"Lebih dari 100 warga Palestina telah dibunuh oleh tentara dan pemukim di wilayah tersebut selama 21 hari terakhir. Suasana tegang dan penutupan wilayah di Tepi Barat yang diduduki telah berdampak pada hampir semua sektor masyarakat," sambung media tersebut.

Salah satu pedagang buah dan sayur di Kota Beituna, Ibrahim al-Kilani (57), mengaku turut merasakan dampak ekonomi dari konflik Hamas-Israel.

Sebelum perang, Ibrahim biasanya memperoleh dagangan dari Kota Nablus dan dari dalam wilayah Israel. Jumlahnya sekitar satu truk setiap hari. Namun, karena perang, truk tersebut baru bisa datang satu sampai tiga hari.

Menurut Ibrahim, kondisi ekonomi di wilayah tersebut kini sedang lumpuh. Penjualan buah dan sayuran pun turun sekitar 50%.

"Kami menghadapi kesulitan besar dalam mengangkut hasil bumi. Perjalanan menjadi mahal karena faktor bahan bakar dan waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke tempat tujuan," bebernya kepada Al Jazeera.

Mayoritas bahan pokok yang diperoleh dari Israel berkurang. Di antaranya seperti jamur, selada, bayam, dan brokoli. "Semuanya habis," ucap Ibrahim sambil menunjuk rak-rak yang kosong di tokonya.

Lanjut ke halaman berikutnya.

Lihat juga Video: Dukung Israel, Saham McDonald's hingga PepsiCo Menguat

[Gambas:Video 20detik]



Kehilangan Miliaran Dolar

Wilayah Tepi Barat sudah berada dalam krisis finansial sebelum konflik Hamas-Israel terjadi. Hal ini disebabkan pendudukan 56 tahun yang dilakukan Israel di Tepi Barat.

Pada 2019, perserikatan Bangsa-Bangsa (UN) mengestimastikan pendudukan Israel membuat Pemerintah Palestina kehilangan US$ 47,7 miliar atau Rp 760 triliun (Kurs Rp 15.939) selama 17 tahun. Persisnya dalam kurun 2000 sampai 2017. Di tengah prahara Hamas-Israel, situasi finansial disinyalir bakal semakin parah.

"Kami biasanya mengimpor sekitar US$ 2 miliar (Rp 31 triliun dalam kurs Rp 15.939) produk lewat pelabuhan Ashod di Israel. Kini semua itu hilang," ucap Kepala Kebijakan dan Perencanaan Kementerian Ekonomi Palestina, Rashad Yousef.

Selain itu, Yousef mengatakan pihaknya mencatat sebanyak 200 ribu pekerja Palestina di Israel dan pemukiman Israel di Tepi Barat kini tidak lagi bekerja. Padahal, sejumlah itu berkontribusi terhadap sekitar US$ 1,2 miliar atau Rp 1,91 triliun (Kurs Rp 15.939) terhadap ekonomi Pemerintah Palestina.

"Sekarang jumlahnya turun drastis. Hanya sekitar 5 persen dari total pekerja itu yang bisa kembali bekerja," sambung Yousef kepada Al Jazeera.

Ia pun menambahkan, bahwa Pemerintah Palestina awalnya memproyeksi produk domestik bruto (GDP) Palestina di Tepi Barat bisa meningkat sebanyak 3% pada 2023. Namun karena perang yang terjadi, proyeksi ekonomi dipastikan menurun.

Hal ini disebabkan berbagai pabrik terpaksa mengurangi kapasitas produksi karena tidak bisa mengirimkan hasil produk mereka ke berbagai wilayah di Tepi Barat Palestina.

"Kami juga menghadapi banyak kesulitan dalam mengimpor dan mengekspor melalui perbatasan dengan Yordania," jelasnya.

Situasi kebutuhan pokok masyarakat juga menjadi persoalan krusial. Yousef mengatakan Pemerintah Palestina saat ini khawatir melihat rendahnya suplai minyak zaitun, beras, tepung, dan gula. Ia melihat, perang yang terjadi di Jalur Gaza dan penutupan Tepi Barat yang diduduki Israel akan memberikan dampak negatif jangka panjang terhadap perekonomian Palestina. Inflasi juga disinyalir terjadi.

"Dampaknya akan terus terasa dalam beberapa bulan ke depan, dan kami memperkirakan harga akan naik," ungkapnya.

Kendati demikian, kepada Al Jazeera, sejumlah sopir bus, pekerja, dan pemilik toko mengatakan bahwa situasi yang terjadi di Tepi Barat masih lebih baik dibanding warga Palestina di Jalur Gaza.

"Lihatlah orang-orang di Gaza. Setidaknya kita masih punya makanan dan air. Anak-anak kami masih aman, hidup dan bermain-main di sekitar kami," ungkap salah seorang warga yang tidak ingin disebutkan namanya. Menurutnya, berbagai persoalan yang dihadapi warga Palestina di Tepi Barat saat ini masih bisa dihadapi.


Hide Ads