Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku enggan bicara terlalu banyak soal rencana pemerintah untuk mengatasi perubahan iklim. Sri Mulyani ingin momen berpidato bisa menjadi tempat baginya untuk menjelaskan perkembangan upaya pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim.
"Dalam hal ini saya juga kasih tau ke pak Febrio (Kepala Badan Kebijakan Fiskal) kalau saya tidak mau pidato soal perubahan iklim kecuali ada progres baru. Saya tidak mau ada pidato yang (isinya) sama di setiap agenda," ucap Sri Mulyani dalam agenda Indonesia International Conference for Sustainable Finance and Economy 2023 (IICSFE 2023) yang disiarkan di YouTube BKF Kemenkeu, Kamis (8/11/2023).
Sri Mulyani kemudian meminta audiens memperhatikan bahwa pidatonya soal rencana pemerintah mengatasi perubahan iklim pasti selalu berbeda-beda di setiap forum. Sri Mulyani mengungkap hal ini sengaja dilakukan sebab ia ingin momen berpidato tersebut bisa menjadi kesempatan baginya untuk menjelaskan perkembangan upaya pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini bahkan mengaku sudah memberikan arahan khusus kepada tim agar tidak menyusun isi pidato yang sama. Selama menjabat sebagai Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengaku tidak ingin dijuluki sebagai 'kaset rusak'.
"Coba anda perhatikan, pasti beda-beda (pidatonya). Saya kasih tau ke tim, jangan bikin menteri keuangan seperti kaset rusak yang ngomong bla-bla-bla. Itu bukan saya. Selama menjadi Menkeu, saya mencoba mendorong rencana konkretnya. Jadi semua ini announcement konkretnya," tegas Sri Mulyani.
Dalam acara tersebut, Sri Mulyani lantas menegaskan bahwa perubahan iklim, yang diterjemahkan dalam upaya transisi energi, tidak bisa menjadi jargon saja. Ia mengatakan bahwa hal tersebut harus dibarengi dalam aksi nyata.
Beberapa di antaranya, ucap Sri Mulyani, adalah pemerintah sudah sudah menyusun sejumlah rencana transisi energi untuk menarik minat berbagai pihak internasional. Mulai dari Energy Transition Mechanism (ETM) yang diluncurkan dalam perhelatan COP 26 di Glasgow pada 2021, hingga penyusunan comprehensive investment plan (CIP) oleh Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk menyingsing rencana investasi pendanaan US$ 20 miliar atau Rp 312 triliun (kurs RP 15.600) dari sejumlah negara maju.
Khusus soal CIP, ia pun mengatakan bahwa rencana investasi komprehensif itu disebut akan rampung pada 21 November. Berkas itu disebut akan dikirimkan kepada Kementerian Keuangan oleh Sekretariat JETP. Sri Mulyani menjelaskan bahwa berkas CIP diharapkan akan menjadi living document yang akan terus berkembang menyesuaikan asumsi dan skenario transisi energi pemerintah.
Selain itu, pemerintah juga sudah menyusun jumlah anggaran yang dibutuhkan agar Indonesia bisa mencapai target net zero emission pada 2060. Jumlahnya disinyalir mencapai US$ 95,9 miliar atau Rp 1.496 triliun (kurs Rp 15.600) dalam kurun 2023 sampai 2030 dan US$ 530 miliar atau Rp 8.268 triliun dalam kurun 2030 sampai 2050. Sejumlah ini pun bisa diperoleh dari berbagai negara asing serta lembaga investasi global.
Oleh sebab itu, Sri Mulyani mengatakan transisi energi Indonesia akan jauh panggang dari api tanpa investasi. Pemerintah terus aktif untuk menghubungkan berbagai lingkaran finansial global dengan Indonesia dalam hal menarik investasi untuk mensukseskan program transisi energi.
"Ini bukan uang kecil. Tapi juga didiskusikan dengan lingkaran finansial global, saya dengar ada triliunan uang secara global di luar sana. Jadi kebutuhan finansial ini bisa diberikan dengan menghubungkan uang di global sana ke rencana Indonesia. Makanya saya sampaikan, boleh punya semangat dan pidato yang bagus. Tapi jangan sampai tidak bisa mendiskusikan dan merencanakan finansialnya," pungkasnya.
(ara/ara)