Ekonomi RI Tumbuh Tak Sampai 5%, Waspada Akhir Tahun Masih Loyo

Ekonomi RI Tumbuh Tak Sampai 5%, Waspada Akhir Tahun Masih Loyo

Samuel Gading - detikFinance
Kamis, 09 Nov 2023 12:06 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2024 sebesar 5,2 persen. Namun ekonom menilai angka itu over optimistic.
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi/Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2023 lebih rendah dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya maupun sebelum pandemi COVID-19. Hal ini diduga akan merembet hingga kuartal IV-2023. Melihat situasi tersebut, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mewanti-wanti terjadinya perlambatan ekonomi.

"Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal-III 2023 hanya tumbuh sebesar 4,94% (yoy). Jauh lebih rendah dibandingkan kuartal III-2022 yang mencapai 5,73% (yoy) maupun kinerja sebelum pandemi, yaitu kuartal III-2019 sebesar 5,01% (yoy)," tulis INDEF dalam keterangan resminya, Kamis (9/11/2023).

Menurut Indef, capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di angka 4,94% merupakan yang terendah sejak akhir 2021. Menurut mereka, hal ini merupakan alarm perlambatan ekonomi yang tidak boleh diabaikan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kinerja ekonomi perlu mendapat perhatian serius seiring momentum dimulainya kontestasi politik Pemilu 2024," tegas Indef.

Para Bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden perlu menjawab tantangan ekonomi saat ini dengan menawarkan solusi agenda ekonomi lima tahun mendatang. Ketidakpastian ekonomi pun disinyalir masih akan membayangi kinerja ekonomi kuartal IV-2023 sehingga risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi masih mungkin berlanjut.

ADVERTISEMENT

Di sisi lain, Indef melihat kehadiran momentum libur panjang Nataru (Natal dan Tahun Baru) dapat menjadi kesempatan adanya peningkatan konsumsi hingga meningkatnya likuiditas yang dapat mengakselerasi kinerja ekonomi. Ditambah lagi dengan mulai meriahnya pesta demokrasi Pemilu serta belanja APBN yang masih perlu terus dipacu.

"Dengan demikian masih terdapat peluang peningkatan belanja untuk masyarakat. Diproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan IV-2023 sebesar 4,9%," jelas Indef.

Catatan Ekonomi Indef:


1. Ekonomi Terpapar Perlambatan Global

Akibat kenaikan harga beras, minyak bumi, dan emas dalam tiga bulan terakhir, World Economic Forum pada Oktober 2023 memberikan peringatan bahwa inflasi dunia akan meningkat dari 6,8% menjadi 6,9% pada 2023. Bahkan pada Emerging Market and Developing Economies meningkat lebih tinggi dari 8,3% menjadi 8,5%. Kondisi ini mengakibatkan The Fed dan beberapa negara lain juga menaikkan suku bunganya, termasuk BI dari 5,75% menjadi 6% pada 19 Oktober 2023 lalu.

Konsekuensinya di dalam negeri, hal ini melemahkan permintaan kredit hingga di bawah 10%. Kenaikan suku bunga memang dapat meredam fluktuasi pasar keuangan, namun hal ini juga akan berdampak pada terancamnya laju pertumbuhan ekonomi. Dengan situasi ini, maka tampaknya tekanan masih akan berlanjut hingga awal 2024 manakala inflasi global masih tinggi, khususnya di negara mitra dagang utama AS, China, maupun Uni Eropa.

2. Ancaman Krisis Pangan Mengkhawatirkan

Sektor pertanian hanya tumbuh 1,46 % (yoy) atau lebih buruk dibandingkan kuartal II-2023 sebesar 2,02% (yoy) atau jauh lebih rendah dibandingkan kuartal III-2022 sebesar 1,97% (yoy). Merosotnya sektor pertanian diakibatkan oleh fenomena El Nino yang terjadi sejak Juli hingga Oktober 2023 dengan penurunan produksi beras yang diperkirakan 1,5 juta ton.

Ancaman krisis pangan diperburuk dengan lonjakan harga beras medium dari rata-rata Rp 10.000/kg menjadi di atas Rp 13.000/kg. Ketidakmampuan pemerintah menghadirkan harga beras yang stabil masih akan terus berlanjut hingga awal 2024 meskipun impor beras telah dilakukan cukup banyak. Situasi ini dapat berakibat pada terganggunya stabilitas politik mengingat beras adalah kebutuhan semua penduduk di Indonesia, apapun status sosial-ekonominya.

3. Kendornya Kinerja Ekspor

Neraca perdagangan memang mencatatkan surplus 41 bulan, namun sebenarnya kinerja ekspor cenderung turun. Salah satu penyebab utama ekonomi triwulan III-2023 turun adalah melemahnya sumbangan ekspor yang tumbuh -4,26% (yoy).

Beberapa negara mitra dagang utama Indonesia, seperti China dan Korea Selatan mengalami perlambatan ekonomi sehingga diperkirakan impor dari Indonesia semakin berkurang. Situasi ini juga diperburuk oleh melemahnya permintaan beberapa komoditas utama ekspor, seperti minyak sawit, batubara, nikel, gas alam, maupun minyak mentah dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

4. Konsumsi Pemerintah Negatif

Di tengah pemulihan ekonomi, konsumsi pemerintah kuartal III-2023 justru tumbuh negatif -3,76% (yoy), padahal pada kuartal II sempat tumbuh positif. Hal ini menunjukkan belanja pemerintah masih menjadi masalah utama ketimbang penerimaan negara.

Di sisi belanja, pada September 2023, realisasi belanja negara telah mencapai Rp 1.967,93 triliun, atau 64,29% dari pagu yang dianggarkan dalam APBN 2023. Capaian realisasi tersebut didukung oleh realisasi belanja pegawai (70,59 %), belanja barang (65,48 %), serta bantuan sosial (72,87 %). Hanya saja, terjadi penurunan pertumbuhan belanja K/L -0,72% (yoy) dengan realisasi sampai September 66,9%, serta realisasi belanja modal masih rendah, yaitu 60,55%.

Di sisi penerimaan, hingga September 2023 penerimaan negara sebesar Rp 2.035,62 triliun atau 82,65% dari target. Ini menunjukkan surplus anggaran negara bukanlah prestasi yang membanggakan manakala konsumsi pemerintah masih negatif.

Daya beli masyarakat tertekan. Cek halaman berikutnya.

5. Daya Beli Masyarakat Mulai Tertekan

Dengan kontribusi 52,62% dan pertumbuhan 5,06% pada kuartal III-2023, konsumsi masyarakat masih tumbuh tinggi. Meski demikian, tekanan mulai terjadi mengingat konsumsi masyarakat pada kuartal II-2023 masih bisa tumbuh 5,22% (yoy) dan kuartal III-2022 sebesar 5,39% (yoy).

Apabila dilihat lebih mendalam lagi tekanan terjadi pada makanan, minuman selain restoran, kemudian pakaian, alas kaki dan jasa perawatan, serta perumahan dan perlengkapan rumah tangga yang pertumbuhannya jauh di bawah 5% (yoy). Tekanan daya beli terjadi karena inflasi hampir terjadi di semua wilayah. Data BPS Oktober 2023 menunjukkan 69 kota mengalami inflasi dan hanya 21 kota mengalami deflasi.

Pelemahan daya beli juga disumbang komponen harga diatur pemerintah yang mengalami inflasi 0,46% dengan andil inflasi 0,09%. Penyumbang utama inflasi tersebut adalah komoditas bensin, tarif angkutan udara, dan tarif air minum PAM.

Sementara komponen harga bergejolak mengalami inflasi 0,21% dengan andil inflasi 0,03%. Komoditas yang dominan memberikan andil inflasi adalah beras, cabai rawit, cabai merah, jeruk, dan sawi hijau (BPS, Oktober 2023).

6. Perlambatan Penurunan Pengangguran

Tingkat pengangguran di Indonesia mengalami penurunan dari 5,86% (Agustus 2022) menjadi 5,32% (Agustus 2023) atau menurun 0,54 poin. Penurunan pengangguran ini patut diapresiasi, meski demikian penurunan tersebut melambat dari periode Agustus 2021 ke Agustus 2022 yang menurun sebesar 0.63 poin.

Meski kondisi ekonomi membaik dibanding pandemi, namun level pengangguran saat ini belum kembali ke kondisi sebelum pandemi di mana pada Agustus 2019, tingkat pengangguran 5,23%.

Ini karena penyerapan tenaga kerja formal yang masih terbatas seiring pembukaan lapangan pekerjaan formal yang juga masih tertahan. Pada Agustus 2023, pekerja formal mencapai 40,89% sementara sisanya (59,11%) merupakan pekerja informal.

Patut pula diperhatikan bahwa pengangguran 'elite' semakin tinggi di mana tingkat pendidikan diploma I, II dan III semakin meningkat dari Agustus 2022 yang sebesar 4,59% menjadi 4,79% (Agustus 2023), dan pendidikan diploma IV, S1, S2, S3 dari 4,80% menjadi 5,18%.

7. Industri Membaik namun Perlu Waspada PHK

Kinerja industri secara umum membaik di mana pertumbuhan sektor ini tumbuh 5,20% pada kuartal III-2023, lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu 4,83%. Perbaikan ini ditopang oleh perbaikan industri tembakau, industri kayu maupun industri kimia farmasi dan obat tradisional.

Meskipun secara umum industri mengalami perbaikan namun menyisakan beberapa industri yang tertekan oleh pelemahan pasar ekspor maupun pasar domestik sejak Januari 2023. Dalam tiga triwulan berturut-turut pertumbuhannya negatif, termasuk kuartal III-2023 yakni industri tekstil dan pakaian jadi (-2,72%), industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki (-2,96%), industri karet, barang dari karet dan plastik (-4,34%) dan industri furnitur (-2,59%). Mengingat beban berat sektor-sektor tersebut dalam enam bulan terakhir maka perlu waspada dampaknya terhadap efisiensi produksi dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Rekomendasi Indef:


1. Pertahankan Daya Beli Masyarakat

Pertahankan daya beli masyarakat dengan memanfaatkan momentum Natal dan tahun baru serta tidak naiknya harga BBM subsidi. Bantuan sosial perlu dilakukan reformasi total agar jumlah penerima dikurangi dengan data terbaru dan menambah belanja sosial untuk 10% masyarakat terbawah.

Belanja Pemilu juga perlu dioptimalkan untuk mendorong konsumsi masyarakat meningkat maupun sektor-sektor terkait (industri makanan dan minuman, industri kertas dan barang dari kertas, percetakan dan reproduksi media rekaman, sektor transportasi dan pergudangan, penyediaan akomodasi dan makan minum serta informasi dan komunikasi) semakin baik.

2. Optimalkan Belanja Pemerintah

Optimalkan belanja Pemerintah pada bulan-bulan terakhir dengan mempercepat belanja modal, bahkan kalau perlu di atas 100% mengingat anggaran masih sangat memadai. Selesaikan prioritas-prioritas infrastruktur nasional yang masih tertunda.

3. Tingkatkan Ekspor Pasar Tradisional ke Negara Lain

Meningkatkan pasar tradisional ekspor pada mitra dagang utama yang tetap tinggi. Penurunan pasar China, Jepang, dan AS perlu dibarengi dengan upaya peningkatan ekspor di negara India, Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam, Taiwan dan Thailand.

Indef mengatakan hal ini perlu insentif dan pencegahan PHK industri yang terpengaruh dari pelemahan ekspor yakni industri tekstil dan pakaian jadi, industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki, industri karet, barang dari karet dan plastik dan industri furnitur.

(ara/ara)

Hide Ads