Banyak negara berkembang di seluruh dunia memiliki utang-utang yang cukup besar kepada China. Tercatat total utang negara-negara berkembang ini mencapai US$ 1,1 triliun atau sekitar Rp 17.248 triliun (kurs Rp 15.680/dolar AS).
Melansir dari CNN, Jumat (10/11/2023), menurut AidData hampir 80% portofolio pinjaman yang dikeluarkan Negeri Tirai Bambu ini berada di negara-negara berkembang. Selama bertahun-tahun, Beijing mengerahkan dananya untuk mendanai infrastruktur di negara-negara miskin.
Pendanaan tersebut mengalir deras ke berbagai proyek mulai dari jalan raya, bandara, kereta api dan pembangkit listrik di negara-negara Amerika Latin hingga Asia Tenggara. Kondisi ini menunjukkan bagaimana China memang mengincar negara-negara berkembang untuk meminjam dari mereka.
Di satu sisi, pinjaman ini memang terbukti bisa sedikit-banyak membantu pertumbuhan ekonomi di antara negara-negara peminjam. Dalam perjalanannya, hal ini juga membuat banyak negara lebih dekat dengan Beijing dan menjadikan China sebagai kreditor terbesar di dunia.
Namun di sisi lain, ternyata sekitar 55% utang yang diberikan China akan jatuh tempo. Utang-utang tersebut akan jatuh tempo di tengah iklim keuangan global yang sedang tidak stabil karena berbagai permasalahan.
"Banyak dari pinjaman ini dikeluarkan selama (periode Belt and Road yang dimulai pada tahun 2013) dan pinjaman tersebut diberikan dengan masa tenggang lima atau enam atau tujuh tahun... kemudian (upaya penangguhan utang internasional selama pandemi) ditambah dengan dua pinjaman tambahan. masa tenggang selama bertahun-tahun di mana peminjam tidak perlu membayar kembali," kata direktur eksekutif AidData, Brad Parks, kepada CNN.
"Sekarang ceritanya berubah... selama sepuluh tahun terakhir ini China adalah kreditur resmi terbesar di dunia, dan sekarang kita berada pada titik poros di mana China benar-benar menjadi penagih utang resmi terbesar di dunia," ujarnya lagi.
AidData mengatakan Beijing tidak pernah berurusan dengan lebih dari 10 negara yang mengalami kesulitan keuangan dengan utang yang belum dibayar hingga tahun 2008. Namun, pada tahun 2021, setidaknya ada 57 negara yang memiliki utang kepada kreditor milik China yang berada dalam kesulitan keuangan.
Artinya hingga 2021 kemarin sejumlah negara ini memiliki kendala pembayaran utang alias kredit macet yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Meski begitu dampak dari pinjaman bermasalah ini terhadap sektor perbankan Tiongkok masih belum jelas.
Sementara itu, bagi negara-negara yang sudah terlilit utang dan berupaya melakukan pembayaran kembali dengan pinjaman penyelamatan darurat Beijing, para peneliti AidData memperingatkan bahwa mereka harus mewaspadai bahaya "gali lobang tutup lobang".
(fdl/fdl)