Pemerintah Sri Lanka akan mengambil langkah ketat dalam menyusun rencana anggaran 2024. Langkah ini ditempuh untuk memenuhi persyaratan dari Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) sekaligus mempertahankan dana talangan US$ 3 miliar atau Rp 47,1 triliun (kurs Rp 15.700).
Sebelumnya, Sri Lanka terancam bangkrut dan membutuhkan dana talangan dari IMF US$ 2,9 miliar atau Rp 45,58 triliun untuk menyelamatkan perekonomiannya. Sebagian anggaran tersebut telah dialokasikan sehingga dapat mendorong pemulihan ekonomi sehingga tumbuh 2% tahun ini.
Presiden Sri Lanka Ranil Wickremesinghe akan menyampaikan rencana anggaran tahunan kepada parlemen pada siang hari. Wickremesinghe memiliki tugas yang sulit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia harus meningkatkan pajak dan membatasi pengeluaran anggaran tahunannya untuk memulihkan perekonomian. Di sisi lain, momentum ini menjadi kesempatannya untuk memenangkan hati pemilih menjelang pemilihan presiden 2024.
Sementara itu, IMF meminta Sri Lanka untuk meningkatkan pendapatan melalui kenaikan pajak sembari berupaya memulihkan krisis perekonomian. Selain itu, IMF juga mendukung defisit anggaran sebesar 12% pada 2024.
Jajaran kabinet Sri Lanka pun menyetujui kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 3% mulai 1 Januari mendatang dan memperluas pemungutan PPN untuk meningkatkan pendapatan. Wickremesinghe juga diharapkan bisa menerapkan langkah-langkah pendapatan tambahan, termasuk pajak baru seperti pajak kekayaan dan warisan yang diusulkan dari kesepakatan dengan IMF.
"Anggaran ini tidak dirumuskan karena mempertimbangkan agenda politik jangka pendek," kata Menteri Keuangan Ranjith Siam Balapitiya dalam pernyataan singkat, dikutip dari Channel News Asia, Senin (13/11/2023).
Dia mengatakan fokus utama anggaran ini adalah untuk memastikan Sri Lanka tidak kembali terjerat dalam krisis ekonomi terburuk sepanjang sejarah. "Fokus utamanya adalah memastikan bahwa Sri Lanka tidak kembali terjerumus ke dalam krisis dan akan mempertahankan langkah pemulihan ekonominya," jelasnya.
Pemegang obligasi dan kreditor bilateral juga akan memantau anggaran tersebut untuk mencari sinyal seberapa mampu Sri Lanka memenuhi target IMF, mencakup pencapaian surplus primer 2,3% pada 2025 dan pengurangan utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 95% pada 2032.
Sebelumnya, perekonomian Sri Lanka mengalami kontraksi 7,8% pada tahun lalu. Akibatnya, negara tersebut gagal membayar utang sehingga mengalami krisis keuangan terburuk sejak kemerdekaan 1948. Bank sentral Sri Lanka memperkirakan pertumbuhan ekonomi 3,3% pada 2024 usai mengalami kontraksi 2% tahun ini.
(ara/ara)