Menanggapi hal tersebut, Pengamat Ketenagakerjaan UGM Prof. Tadjuddin Noer Effendi menilai tuntutan kenaikan upah 15% terlalu tinggi. Ia melihat bahwa tuntutan kenaikan 15%, lima kali lebih tinggi di atas angka inflasi Oktober 2023 yang bertengger di angka 2,56%.
"Tuntutan upah minimum naik 15% itu terlalu tinggi. Katakanlah inflasi bulan depan meningkat 3%, itu lima kali lipat di atas inflasi. Industri tidak akan sanggup," ucap Tadjuddin saat dihubungi detikcom, Selasa (14/11/2023).
Realistisnya, Tadjuddin mengatakan kenaikan upah berkisar dua kali inflasi. Contohnya, semisal angka inflasi meningkat menjadi 4%, maka upah sekurang-kurangnya naik 8%. Menurutnya, ini dilakukan agar ada keseimbangan antara permintaan buruh dan kemampuan pengusaha untuk menggaji.
Jika upah meningkat terlalu tinggi, para pengusaha bisa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Sebab, para pengusaha akan melihat situasi ekonomi yang berkembang dan dampaknya terhadap bisnis mereka.
"Naiknya terlalu tinggi juga berbahaya karena kalau mereka keberatan dan pemerintah tidak menggubris, jalan pintas yang diambil adalah mengurangi labor cost atau biaya buruh dengan melakukan PHK," bebernya.
Namun di satu sisi, ia juga melihat masalah lain juga akan muncul jika upah tidak naik. Pasalnya, sekitar 60-66% dari total 'kue' pertumbuhan ekonomi Indonesia masih ditopang konsumsi masyarakat yang notabene dipengaruhi oleh upah. Oleh sebab itu, ia mengatakan pemerintah saat ini perlu mencari jalan tengah dari persoalan upah minimum.
"Jadi saya pikir yang perlu dicari adalah win-win solution-nya. Buat kenaikan upah minimum 8-10% itu masih oke meski mungkin akan ada keberatan dari perusahaan. Tapi bagi saya, yang penting adalah win-win solution agar pertumbuhan ekonomi tetap tinggi dan buruh tetap sejahtera," terangnya.
Setali tiga uang, Ekonom dari Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda, juga sepakat bahwa tuntutan kenaikan upah minimum 15% sangat tinggi. Angka itu jauh dari keinginan para pengusaha yang tentu tidak ingin kenaikan upah meroket.
Oleh sebab itu, Nailul menjelaskan jalan tengah perlu dicari dari persoalan tersebut yakni, formula kenaikan upah yang berpatokan pada angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Dengan dua variabel tersebut, ia meyakini bahwa kenaikan upah akan rasional dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jumlah kenaikan pun berkisar di angka 8-10%.
"Kalau dihitung rata-rata inflasi sekarang 3-4% sedangkan pertumbuhan ekonomi di angka 5%, jadi kenaikan upah tepatnya berada di angka 8-10% kalau menggunakan variabel inflasi dan pertumbuhan ekonomi," terangnya kepada detikcom.
Di sisi lain, ia menjelaskan ada alternatif lain yang juga bisa ditempuh, seperti kepastian jaminan kesehatan, perlindungan tenaga kerja, asuransi jiwa, dan biaya transportasi. Segelintir hal ini bisa dicoba agar argumen soal kesejahteraan tidak deadlock atau mandek di angka upah minimum.
"Persoalan upah ini adalah hal yang dari dulu terjadi karena berkaitan dengan kepentingan buruh untuk sejahtera dan kepentingan pengusaha atau industri untuk menjaga labor cost atau biaya buruh tetap rendah," imbuhnya.
Simak juga Video: Hore! Pemerintah Beri Sinyal UMP 2024 Bakal Naik
(ara/ara)