Aksi boikot produk pro Israel masih terus menggema di Tanah Air. Pengusaha ritel mengungkapkan, kondisi ini membuat penjualan mereka menurun.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mande. Adapun data tersebut merupakan proyeksinya dalam 1 minggu terakhir sejak aksi boikot ini massive dilakukan. Sudah ada anomali terlihat sekitar 3-4% terhadap aktivitas jual-beli di toko ritel.
"Belum signifikan (dampaknya). Jadi kalau masih angka kira-kira pendekatan yang secara umum sekitar 3-4%, penurunan konsumsi belanja masyarakat, untuk daerah-daerah tertentu belum seluruh daerah," kata Roy, dalam konferensi pers di Epicentrum Walk, Jakarta Selatan, Rabu (15/11/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan demikian, ada penurunan penjualan smeitar 3-4% tersebut. Namun Roy menekankan, data ini baru perkiraan dan belum 100% akurat. Hal ini juga mengingat gencarnya aksi boikot baru dirasakan dalam kurun waktu 1 minggu terakhir. "Data itu tidak cepat, karena kita harus mengumpulkan data yang di toko dan yang diinventaris, jadi dari waktu hampir satu minggu ini," jelasnya.
Adapun dampak ini paling terasa di toko ritel yang berada di daerah-daerah. Oleh karena itu, ia meminta agar pemerintah segera mengambil tindakan. Kalau tidak, bisa-bisa hal ini akan berlanjut hingga mengganggu industri hulu. Bahkan lebih jauh lagi, bisa berujung ke langkah pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Ada produktivitas di situ. Produktivitas di mana itu mempekerjakan temen-temen kita juga. Bisa dibayangkan begitu tergerus produsen, konsumen, investasi, pertumbuhan bisa nggak terjadi, bahkan yang kita nggak mau, PHK," tuturnya.
"Pemerintah harus hadir. Apa nih langkah-langkahnya untuk misi perdamaian dan kemanusiaan dalam melibatkan masyarakat. Sehingga, nggak terjadi (boikot). Sehingga berdampak ke masyarakat atau konsumen itu sendiri," sambungnya.
Apabila operasional perusahaan terganggu, kemungkinan besar hal ini juga akan berpengaruh ke investasi. Dalam hal ini, minat investor terhadap perusahaan-perusahaan terkait akan turun.
"Misalkan perusahaan jadi setop produksi. Sahamnya akan tergerus kan. Wah ini berhenti nih, karena nggak ada penjualan. Akhirnya dampaknya ke investor. Saham produk itu akan kurang diminati. Produktivitasnya kan berubah itu mulai kelihatan. Bukan pasti berubah, karena beberapa perusahaan pasti bertahan. Ini ke macem-macem, investais, saham, tenaga kerja, dan lain-lain," pungkasnya.
Sebagai tambahan informasi, aksi boikot produk Israel maupun yang mendukung Israel masih terus digaungkan. Di Indonesia sendiri, belum lama ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang belum lama ini menerbitkan fatwa berisi kewajiban mendukung Palestina, salah satunya dengan tidak membeli produk Israel maupun pendukungnya.
(shc/rrd)