Kena Quiet Cutting Sama Kantor? Bisa Jadi 'Senjata Tersembunyi' Kok!

Lumongga Harahap - detikFinance
Sabtu, 25 Nov 2023 19:45 WIB
Ilustrasi/Foto: Getty Images/iStockphoto/fizkes
Jakarta -

Pandemi melahirkan banyak istilah baru di dunia ketenagakerjaan. Setelah fenomena quiet quitting mengemuka dengan alasan kesehatan mental para pekerja, kini muncul jargon baru yang dinamakan quiet cutting.

Quiet cutting merupakan istilah yang kontradiktif dengan quiet quitting. Di saat quiet quitting menjadi kampanye dari para pekerja untuk bekerja sewajarnya, muncul respons perusahaan yang mencoba kembali mengambil alih kontrol dengan menggunakan teknik quiet cutting.

Quiet cutting merupakan suatu bentuk penugasan pekerja ke posisi baru dengan harapan mereka pada akhirnya akan berhenti sehingga perusahaan dapat menghemat biaya pesangon. Terdengar familiar?

Hal ini mulai marak dilakukan di perusahaan-perusahaan AS. Perusahaan tersebut justru menggeser posisi seseorang lantaran memecatnya dan menggantinya dengan orang baru. Menurut survei The Zetwerk, ditemukan bahwa hampir 24% pengusaha melakukan pemotongan diam-diam karena alasan, manajemen kinerja (73%), penghematan biaya (42%), reorganisasi (33%), dan pergantian karyawan (16%).

Lantas, seperti apa realisasinya di Indonesia?

Menurut Ketua umum Sumber Daya Manusia Indonesia (ISPI), Ivan Taufiza, quiet cutting merupakan fenomena puncak gunung es di ketenagakerjaan yang telah lama berlangsung. Quiet cutting memiliki banyak bentuk dan telah lama dipraktikkan di berbagai perusahaan dalam rangka reorganisasi, maupun pemutusan karyawan.

"Bentuknya banyak sekali. Ada yang job-nya dikecilin. Jadi, satu posisi tadinya dia bisa mengeksekusi 10 action, budget 1 miliar. ini dipotong jadi setengah. Ini juga bagian dari quiet cutting," jelas Ivan dalam podcast Tolak Miskin, ditulis Sabtu (25/11/2023).

Menurut Ivan, praktik quiet cutting boleh dilakukan dan tidak melanggar hukum dengan syarat disetujui oleh kedua belah pihak. Baginya, quiet cutting yang membabi buta tanpa analisis dan strategi yang kurang tepat justru akan merugikan perusahaan dan dinilai kontraproduktif.

"Jadi, semua itu kan kontraktual. Maksudnya, kedua belah pihak gitu ya. Kalau salah satu pihak nggak sepakat walaupun actionnya favorable, walaupun actionnya sesuai hukum. Kalau salah satunya nggak sepakat, itu ya bisa dispute," bebernya.

Ia juga menjelaskan bahwa komunikasi yang baik menjadi kunci kelancaran dari strategi quiet cutting. Strategi ini dianggap berisiko tinggi, tetapi bila dilakukan dengan eksekusi yang tepat justru akan menjadi simbiosis mutualisme antara perusahaan dan karyawan.

"Fakta lapangannya pada saat orang dimutasi kalau komunikasinya juga mulus, understanding-nya juga clear dilengkapi dengan program-program atau action lainnya yang develop. Itu di lapangan malah perform well," jelasnya.

Kesimpulannya, baik bagi perusahaan sebagai pembuat keputusan dan karyawan sebagai korban dari keputusan harus menindaklanjuti praktik ini secara berhati-hati. Komunikasi yang terbuka dengan program yang mendukung diharapkan dapat menjadi jalan keluar bagi kedua belah pihak.

Informasi lengkap tentang topik ini bisa didengarkan pada podcast Tolak Miskin dengan mengklik widget di bawah ini.




(eds/eds)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork