Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangungunan Nasional (PPN/Bappenas) menegaskan bahwa membuat kebijakan tidak bisa sembarangan. Ada berbagai faktor salah satunya harus berbasis sadar risiko.
Harapannya, dengan mengimplementasikan pendekatan tersebut, kebijakan yang dihasilkan dapat meminimalisir dampak risiko sehingga tujuan dari perencanaan bisa terealisasi dengan baik.
Perencana Ahli Madya Bappenas, Novi Mulia Ayu, menjelaskan risiko menciptakan ketidakpastian dalam mencapai tujuan perencanaan pembangunan. Sebagai wujud implementasi kebijakan berbasis sadar risiko, Bappenas saat ini tengah mempersiapkan aturan untuk penerapan Peraturan Presiden Nomor 39/2023 tentang Manajemen Risiko Pembangunan Nasional.
"Melalui regulasi tersebut diharapkan bahwa setiap kebijakan instansi sudah melakukan identifikasi terhadap risiko-risiko yang mungkin terjadi dalam pencapaian sasaran, tujuan, dan juga pengelolaan risikonya," kata Novi dalam diskusi dikutip Rabu (20/12/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak hanya dalam penyusunan perencanaan pembangunan, kebijakan berbasis sadar risiko juga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Novi mencontohkan, para perokok dapat mengimplementasikan kebijakan ini dalam upaya berhenti merokok. Caranya, perokok dewasa harus fokus untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sekaligus memprediksi risiko-risiko yang berpotensi menghambat target.
Dalam kesempatan yang sama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hari Prasetiyo, juga mendukung partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik. Dengan pelibatan publik, maka akan memberikan ragam perspektif untuk memitigasi risiko, misalnya dari sudut pandang konsumen hingga saintis.
"Hasil yang holistik itu kemudian dirumuskan bersama pemerintah. Pemerintah pusat maupun daerah sering kali melibatkan masyarakat dalam pembentukan regulasi hanya melalui diseminasi," kata dia
Sementara itu, Ketua Masindo, Dimas Syailendra Ranadireksa sependapat bahwa pembuatan kebijakan harus didasari kesadaran risiko. Selain itu, pembuatan kebijakan harus berlandaskan kajian ilmiah dan informasi berbasis sains agar hasilnya tepat sasaran. Dengan begitu, masyarakat dapat menerapkan kebijakan yang sesuai dalam kehidupan sehari-hari.
Dimas mencontohkan, meningkatnya prevalensi merokok menjadi tantangan pemerintah dalam menekan angka penyakit yang disebabkan rokok.
"Berhenti merokok menjadi tantangan perokok dewasa karena tidak mudah dilakukan. Beberapa negara saat ini sedang mencoba mencari solusi komplementer untuk mengatasi masalah prevalensi merokok. Pendekatan pengurangan bahaya tembakau melalui penggunaan produk tembakau alternatif bisa dikaji juga oleh pemerintah," lanjutnya.
Dimas menjelaskan, telah banyak penelitian yang menunjukkan adanya faktor pengurangan risiko pada produk tembakau alternatif karena penggunaannya tidak melalui proses pembakaran sehingga tidak menghasilkan TAR. Penelitian-penelitian ini lah yang dirujuk oleh beberapa negara dalam menyusun strategi pengurangan bahaya tembakau.
"Indonesia bisa merujuk beberapa negara maju seperti Jepang, Selandia Baru, dan Inggris yang menerapkan kebijakan berbasis sadar risiko melalui pemanfaatan produk tembakau alternatif. Tujuannya mengurangi prevalensi merokok melalui pendekatan yang lebih rendah risiko," terangnya.
(das/das)