Kementerian Perdagangan melaporkan hasil Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) 2023. Adapun dimensi dengan penyumbang nilai terendah dalam indeks tersebut ialah perilaku komplain.
Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Moga Simatupang mengatakan, hasil survei IKK 2023 mencapai angka 57,04 dan masuk kategori mampu (rentang 40,1-60). Angka ini naik cukup signifikan dari IKK 2022 yang berada di angka 53,23.
"Berdasarkan hasil survei IKK, diperoleh nilai 57,04 atau meningkat 3,81 poin dari 2022 yang di angka 53,23. Dan ini termasuk kategori mampu. Artinya, kosumen sudah mampu menggunakan hak dan kewajiban untuk menentukan produk terbaik bagi diri dan lingkungan," kata Moga, dalam sambutannya di acara Konferensi Pers Hasil Survei IKK, di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta Selatan, Kamis (21/12/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Moga mengatakan, survei telah dilakukan dari Maret s.d November di 34 provinsi. Total ada 17.000 responden yang ikut serta, di mana ada sebanyak 500 responden offline dari masing-masing provinsi dan responden 200 online.
Sementara itu, Direktur Utama PT KOKEK Tan Johny Yulfian menyampaikan, total ada 8 dimensi dalam penilaian indeks ini, mencakup pencarian informasi, pengetahuan tentang UU Perlindungan Konsumen, pemilihan barang dan jasa, preferensi barang dan jasa, perilaku pembelian, kecenderungan untuk bicara, dan perilaku komplain.
Tercatat, dimensi perilaku komplain punya nilai paling rendah dibandingkan dimensi lainnya, hanya mencapai 47,71. Johny mengatakan, jika mau mendorong lonjakan hasil IKK dari kategori konsumen mampu naik ke kategori konsumen kritis, minimal dimensi terendah itu harus digenjot.
"Ada beberapa dimensi yang masih masuk di bawah tahapan mampu, salah satunya perilaku komplain. Jadi kalau kita mau lakukan lonjakan, di mana kita keluar dari tahapan mampu ke kritis, minimal dimensi yang rendah ini bisa dilakukan terobosan signifikan agar terjadi peningkatan yang tidak terlalu linear," jelasnya.
Johny mengatakan, kecenderungan konsumen Indonesia ialah tidak mengajukan komplain walaupun tidak puas dengan barang ataupun jasa yang dibelinya. Padahal, baik pemerintah maupun unit usaha sendiri telah menyediakan banyak channel pengaduan.
"Masing-masing sektro juga punya channel sendiri. Tetapi tidak semua mengadu. Ada yang jarang atau tidak pernah atau cukup sering. Artinya, walaupun tidak puas, tidak semua mereka ngomong," ujarnya.
Atas kondisi ini, menurutnya perlu ditingkatkan intensitas kegiatan atau program yang bisa mendukung perilaku konsumen terkait intensitas berbicara. Dengan demikian, secara keseluruhan dimensi ketujuh yakni pengaduan komplain yang paling rendah tadi bisa meningkat.
"Kemendag itu sebetulnya regulator. Kalau ini semua mengandalkan Kemendag saja itu akan berat sekali. Jadi tentu saja sektor-sektor terkait harus diajak kerja sama lebjh massive. Juga bisa dibuat tim adhoc, apapun itu tim yang tepat atau dalam konteks hybrid, antar setiap sektor dan Kemendag perlu ada koordinasi rutin masalah perlindungan konsumen," pungkasnya.
Simak juga Video: Zulhas soal Pentingnya Kerja Sama Dagang agar RI Tak Jadi Negara Konsumen