Selain menjaga keberlangsungan lingkungan hidup, transisi ekonomi Indonesia dari industri ekstraktif ke ekonomi hijau disebut bisa menyumbang total 19,4 juta pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Apa saja?
"Peralihan mampu membuka hingga 19,4 juta lapangan kerja baru yang muncul dari berbagai sektor. Peningkatan terjadi 10 tahun setelah pelaksanaan program," ucap Direktur CELIOS Bhima Yudhistira saat dihubungi oleh detikcom, Rabu (27/12/2023).
Adapun sejumlah daftar pekerjaan tersebut, jelas Bhima, adalah sebagai berikut:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Daftar Lapangan Pekerjaan di Industri Ekonomi Hijau
1. Sektor Pertanian dan perikanan 3,8 juta orang
2. Sektor Industri Pengolahan 3 juta orang
3. Sektor Perdagangan 3,3 juta orang
4. Sektor Jasa keuangan 1,9 juta orang
5. Sektor Pengadaan listrik 1,09 juta orang
6. Sektor Konstruksi 1,8 juta orang
7. Sektor Transportasi akomodasi 964 ribu orang
8. Sektor Jasa Perusahaan 900 ribu orang
9. Sektor lainnya 2,65 juta orang
Selain itu, Bhima menjelaskan bahwa transisi Indonesia dari industri ekstraktif ke ekonomi hijau diyakini bisa memberi tambahan Rp 902,2 triliun bagi pendapatan tenaga kerja.
Menukil hasil riset bertajuk Dampak Transisi Ekonomi Hijau Terhadap Perekonomian, Pemerataan, dan Kesejahteraan Indonesia (2023) yang ditulis CELIOS, Bhima menjelaskan peningkatan pendapatan tenaga kerja terdorong dari kegiatan langsung dari pembangunan ekonomi hijau. Di antaranya seperti pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Energi Baru Terbarukan (EBT) hingga sektor tidak langsung lainnya.
Selain itu secara sektoral, pendapatan pekerja di sektor pertanian, yang merupakan porsi tenaga kerja terbesar di Indonesia, pun semakin membaik karena ekonomi hijau.
"Hal ini berarti pertanian jadi sektor yang menarik minat pekerja usia muda. Selain itu industri pengolahan mampu meningkat Rp148,9 triliun melebihi skenario business as usual, disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan industri baru seperti industri komponen energi terbarukan, industri daur ulang dan industri ramah lingkungan lainnya," beber Bhima.
Menurutnya, transisi menuju ekonomi hijau diperlukan Indonesia untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil. Hal ini lebih baik agar RI bisa lepas dari ketergantungan di sektor pertambangan dan energi fosil yang selalu terpengaruh harga internasional.
"Selain itu dampak krisis iklim sudah sangat dirasakan masyarakat akibat eksploitasi alam yang masif, sehingga ada korelasi penurunan polusi udara dengan ekonomi hijau. Tidak hanya itu ekonomi hijau mampu menurunkan beban biaya kesehatan masyarakat, menurunkan tingkat stress hingga menghindari korupsi yang selama ini lekat dengan ekonomi berbasis ekstraktif," imbuhnya.
Diwawancarai terpisah, Direktur Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, ekonomi hijau bisa menciptakan lapangan kerja, namun menurutnya hal itu tidak bisa terjadi secara instan atau dalam waktu dekat.
Pasalnya, Tauhid melihat perhitungan itu berdasarkan pada asumsi jika transisi energi berjalan ideal. Namun, yang terjadi saat ini masih jauh dari kata optimal, contohnya soal penerapan EBT.
"Bisa saja itu terjadi, tapi jumlah capaiannya sekarang belum ideal. Realistisnya sekarang (realisasi) EBT 2022 itu baru sekitar 12,3% padahal 2025 targetnya 23%. (Pembukaan lapangan kerja) Ini baru perhitungan jika transisi energi dilakukan secara ideal, ini baru mulai, EBT saja mandek," jelasnya.
Oleh sebab itu, Tauhid melihat bahwa upaya transisi energi harus digenjot, tapi secara hati-hati. Pasalnya, penggunaan teknologi untuk ekonomi hijau tergolong mahal. Di India saja, ucapnya pemerintah menerapkan ekonomi hijau secara hati-hati.
"Transisi energi baru dari industri ekstraktif ke yang renewable energy itu lebih mahal. Transisi energi tidak semudah membalikkan telapak tangan," tegasnya.
Sebelumnya berdasarkan catatan detikcom, pernyataan serupa pernah dikemukakan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas). Pada Jumat (24/11), Bappenas mencatat akan ada 15,3 juta pekerjaan baru untuk sektor ekonomi hijau di Indonesia.
Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian PPN/Bappenas Maliki mengatakan peluang kerja baru tercipta karena pemerintah menerapkan berbagai langkah konkret untuk menghadapi tantangan perubahan iklim.
"Pemerintah menetapkan kebijakan rendah karbon dan ketahanan iklim dalam proses transisi menuju ekonomi hijau. Pembangunan rendah karbon diprediksi dapat menciptakan pekerjaan baru sebesar 15,3 juta sampai 2045. Ini kesempatan baik bagi kita," ucap Maliki.
Kendati demikian, Maliki mengatakan ada sejumlah tantangan yang juga dihadapi agar total 14,3 juta lapangan pekerjaan tersebut teroptimalisasi. Ada lima tantangannya.
Pertama, sumber daya manusia (SDM) masih didominasi oleh lulusan SMP mencapai 54,6% dari total angkatan kerja pada 2023. Tantangan kedua, terdapat ketidaksesuaian keahlian antara lulusan pendidikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.
"Pagi ini juga banyak yang mempertanyakan pendidikan SMK yang masih menggunakan teknologi lama. Jadi masih belum bisa menyesuaikan kemajuan seperti digitalisasi teknologi dan sebagainya," sambungnya.
Tantangan ketiga, informasi pasar tenaga kerja juga belum mampu menjadi intelijen pasar kerja yang baik. Pada 2024, Maliki mengatakan pemerintah berharap agar persoalan ini bisa diselesaikan.
"Karena kalau ini masih ada di listing IGJC agak menyedihkan. Jadi harus selesai ini," bebernya.
Adapun tantangan keempat adalah pasar kerja Indonesia belum merespon perubahan cepat jenis lapangan kerja, kebutuhan keahlian, struktur pendidikan, serta pola budaya kerja. Sementara tantangan terakhir, industri belum menerapkan prinsip berkelanjutan. Alhasil, penciptaan lapangan kerja hijau belum tumbuh pesat atau kondusif.
(kil/kil)