Ombudsman RI mengungkap ada sejumlah masalah terkait kebijakan impor bawang putih. Masalah tersebut di antaranya, kebijakan rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) dan wajib tanam yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian pada 2023.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika mengungkap, temuan pertama berdasarkan laporan dari importir bahwa banyak yang sulit mendapatkan Surat Persetujuan Impor (SPI). Namun, masalah ini terjadi karena jumlah RIPH yang diterbitkan Kementan dua kali lipat dari kuota impor.
Kedua, terkait keberatan dari importir untuk memenuhi syarat wajib tanam bawang putih. Sebagaimana diketahui, importir yang ingin mendapatkan RIPH wajib melakukan penanaman bawang putih di dalam negeri untuk juga menggenjot produksi bawang putih Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi pelaku importir itu banyak yang tidak melaksanakan wajib tanam, bagaimana tidak melaksanakan wajib tanam? Tidak boleh impor, apakah pelaku usaha bisa impor? Bisa, bikin perusahaan baru," jelas Yeka, dalam konferensi pers, di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Selasa (16/1/2024).
Saat importir diduga banyak yang tidak melakukan wajib tanam, tetapi RIPH yang diterbitkan Kementan sangat banyak di atas kuota impor. Kemudian, kebijakan wajib tanam ini juga tidak memberikan peningkatan pada produksi bawang putih dalam negeri.
"Wajib tanam ini tujuannya agar produksi dalam negeri ini meningkat. Tetapi lihat perkembangannya, ya rata-rata 40 ribu-45 ribu ton dari tahun ke tahun. Produksi dalam negeri 2018 39 ribu ton, meningkat 2019 menjadi 88 ribu ton, menurun lagi 81 ribu ton (2020), menurun lagi 45 ribu ton (2021) dan menurun lagi 30 ribu ton (2022)," ungkapnya.
"Ini data BPS ya. Jadi ini sudah jelas wajib tanam itu gagal, kalau gagal harusnya dievaluasi," tambahnya.
Yeka menduga, banyak perusahaan besar yang sengaja membuat perusahaan baru untuk menghindari wajib tanam. Jadi, ketika perusahaan baru itu mendapatkan RIPH, izinnya itu untuk perusahaan induknya.
"Potensi gagalnya wajib tanam itu besar sekali. Yang kedua, adanya ketidaksesuaian antara komitmen wajib tanam dan realisasi wajib tanam bawang putih. Kami melihat ketidaksesuaian," tambah dia.
Temuan berikutnya, adanya pungutan liar (pungli) dalam penerbitan RIPH tersebut. Yeka mengungkap berdasarkan temuan Ombudsman besaran pungli untuk penerbitan RIPH sebesar Rp 200.000 sampai Rp 250.000 per kilogram (Kg).
"Lalu ada dugaan pungli, dalam penerbitan RIPH bawang putih. Nilainya bervariasi pungutannya, Rp 200 ribu per kg, Rp 250 per kg dari besarannya RIPH," jelas dia.
Kemudian, Ombudsman juga mendapatkan aduan dari importir terkait dengan sulitnya mengakses website permohonan RIPH Online yang dibuka Kementan.
"Di mana pada jam kerja server diduga mengalami down. Namun, pada jam-jam di luar kerja, website tersebut dapat diakses terbatas, sehingga terkesan adanya buka-tutup permohonan RIPH online," ungkap Yeka.
Oleh sebab itu, ada sejumlah potensi tindakan maladministrasi yang dilakukan Kementan dalam hal ini Direktorat Jenderal Hortikultura. Pertama, dari sisi kebijakan, Kementan disebut tidak memberikan pelayanan optimal dan pengawasan terkait impor bawang putih.
"Kedua penyalahgunaan wewenang dalam impor bawang putih tidak berdasarkan rencana impor bawang putih ditetapkan pemerintah melalui rakortas," ucap Yeka.
Ketiga, Kementan diduga melakukan pengabaian hukum dalam harmonisasi peraturan terkait penerbitan dan pelaksanaan impor, ada potensi maladministrasi berupa tidak kompeten. Keempat ada potensi maladminsitrasi penyalahgunaan wewenang.
"Dalam pelaksanaan wajib tanam ini kami akan fokus mendalami adanya dugaan kewajiban hukum dalam pengawasan kesesuaian pengawasan dan realisasi wajib tanam dan adanya pengabaian kewajiban hukum dalam laporan realisasi wajib tanam," pungkasnya.
Lihat juga Video 'Masinton PDIP Sindir Ada Cawapres Seperti Bawang Putih Selundupan':