Jakarta -
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Abdullah Azwar Anas buka suara soal menteri dan presiden ikut berkampanye.
Anas mengatakan, menteri boleh ikut berkampanye lantaran status menteri yang merupakan political appointee atau ditugaskan berdasarkan pilihan politik presiden. Namun demikian, satu catatan pentingnya harus cuti.
"Kalau menteri itu kan political appointee, tentu ada catatan kalau dia kampanye kan harus cuti," kata Anas, ditemui di Gedung Juang KPK, Jakarta Selatan, Jumat (25/1/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbeda dengan Aparatur Sipil Negara (ASN), di mana pemerintah sendiri telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) bersama KemenPANRB, Badan Pengawas Pemilihan dengan (Bawaslu), Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Kementerian Dalam Negeri, Badan Kepegawaian Negara (BKN), di mana ASN itu harus netral.
"Karena di dalam aturan dan regulasinya demikian ya. Bahwa, mereka punya hak individu tidak sebagai ASN. Bahwa ASN tidak boleh, karena kalau dia terdaftar di salah satu partai politik maka dia harus mengundurkan diri dari ASN," ujarnya.
Lebih lanjut Anas menjelaskan, dalam SKB tersebut juga dibahas mengenai sanksi bagi para ASN yang melanggar. Nantinya, pelanggaran tersebut akan diproses melalui KASN. Adapun berdasarkan catatan KASN dari Pilkada 2020 silam, pelanggaran mencapai 2.000 pelanggaran.
"Sekarang jika ada pelanggaran netralitas ASN, silahkan dikirim ke KASN. Tahun kemarin ada 2.000-an pelanggaran ya, ada yang sudah ditindaklanjuti, ada juga yang tidak bisa ditindaklanjuti. Karena tidak semua laporan memenuhi unsur yang bisa ditindaklanjuti," kata Azwar Anas.
Bersambung ke halaman berikutnya. Langsung klik
Sebagai tambahan informasi, sebelumnya heboh pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut bahwa presiden dan menteri boleh kampanye dan memihak. Pernyataan itu disampaikannya ketika berada di Pangkalan TNI AU Halim, Jakarta.
"Presiden tuh boleh lho kampanye, Presiden boleh memihak, boleh," ucapnya, Rabu (24/1/2024) dikutip dari detikNews.
Namun, ia menekankan, yang penting tidak menggunakan fasilitas negara. Sebab, presiden maupun menteri merupakan jabatan publik dan jabatan politik. Hal itu juga berlaku untuk menteri.
"Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Kita ini pejabat publik sekaligus pejabat politik. Masa berpolitik nggak boleh? Boleh. Menteri juga boleh," imbuhnya.
Sementara itu, Koordinator Stafsus Presiden Ari Dwipayana menjelaskan bahwa pernyataan itu disampaikan dalam konteks menjawab pertanyaan media. Namun pernyataan itu menurutnya telah banyak disalahartikan.
"Pernyataan Bapak Presiden di Halim, Rabu (24/1) telah banyak disalahartikan. Apa yang disampaikan oleh Presiden dalam konteks menjawab pertanyaan media tentang menteri yang ikut tim sukses," jelas Ari, Kamis (25/1/2024) dikutip dari detikNews.
Menurut Ari, Presiden Jokowi memberi penjelasan tekair pasal 281 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mana berisi aturan main bagi menteri maupun presiden dalam berdemokrasi. Disebutkan bahwa kampanye pemilu boleh mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, dan Kepala Daerah serta Wakil Kepala Daerah.
"Artinya, Presiden boleh berkampanye. Ini jelas ditegaskan dalam UU. Tapi memang ada syaratnya jika Presiden ikut berkampanye," lanjutnya.
Aturan yang pertama adalah tidak menggunakan fasilitas dalan jabatannya kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sesuai aturan yang berlaku. Kemudian yang kedua, menjalani cuti di luar tanggungan negara. Dengan adanya izin tersebut maka Presiden juga diperbolehkan mempunyai preferensi politik terhadap partai atau salah satu pasangan calon.
Ari menegaskan bahwa yang disampaikan Jokowi sudah diatur sejak lama dan bukan hal baru. Dia mencontohkan bahwa pada pemilu sebelumnya pun, Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono juga terlibat dalam kampanye pemenangan partai.