Gugat Aturan Pajak Hiburan 75% ke MK, Pengusaha Cuma Mau Bayar 10%!

Gugat Aturan Pajak Hiburan 75% ke MK, Pengusaha Cuma Mau Bayar 10%!

Ilyas Fadilah - detikFinance
Rabu, 07 Feb 2024 18:24 WIB
Ketua Umum GIPI Hariyadi BS Sukamdani di Gedung MK, Rabu (7/2/2024).
Foto: Ilyas Fadilah/detikcom
Jakarta -

Dewan Pengurus Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI) bakal mengeluarkan surat edaran (SE) kepada anggotanya terkait aturan pajak hiburan. Ketua Umum GIPI, Hariyadi Sukamdani menjelaskan, SE dikeluarkan sambil menunggu proses gugatan uji materil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurutnya proses gugatan ke MK akan memakan waktu yang lama mengingat berdekatan dengan periode pemilu. Haryadi menilai MK akan memprioritaskan perkara yang terkait dengan sengketa pemilu.

"Untuk itu kami juga nanti akan mengeluarkan surat edaran kepada pelaku jasa hiburan yang terkena Pasal 58 ayat (2) yang intinya kami mengimbau mereka untuk membayar tarif pajaknya mengikuti tarif yang lama. Sementara itu, agar mereka bisa tetap bertahan," katanya dalam konferensi pers di gedung Mahkamah konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (7/2/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, dalam pasal 58 ayat (2) UU HKPD, ditetapkan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa paling rendah 40%, dan paling tinggi 75%. Ia menilai aturan ini berpotensi mematikan industri pariwisata dalam negeri.

Oleh karena itu, kata dia, SE juga dikeluarkan sambil menunggu pemerintah daerah mengeluarkan diskresi kebijakan melalui insentif fiskal. Dalam SE tersebut pelaku industri diminta membayar pajak sebesar 10%.

ADVERTISEMENT

"Posisi kita tetap bayar pajak hiburan tapi mengikuti tarif yang lama," tuturnya.

Haryadi berujar langkah ini ditempuh demi menjaga kelangsungan industri pariwisata dalam negeri. Terlebih sektor ini membuka banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat dengan kualifikasi yang tidak terlalu tinggi.

"Saya punya kewajiban membantu anggota saya untuk tidak mati. Ini kan saya cerita panjang lebar, ini kan prosesnya udah nggak benar. Sekarang gimana, kalau hidup dan mati kasihan, masa mau kehilangan mereka sih," imbuhnya.

(ily/rrd)

Hide Ads