Sejumlah negara di dunia kini mengalami penurunan populasi imbas 'resesi seks'. Sebut saja seperti yang terjadi di China, Jepang, dan Korea Selatan hingga Italia. Terbaru, fenomena resesi seks ini juga sudah menghantui tetangga RI, Thailand.
Istilah resesi seks sendiri mengacu pada penurunan gairah seseorang untuk berhubungan seks, menikah, dan memiliki anak yang menyebabkan adanya penurunan populasi. Penurunan jumlah populasi ini tentu akan memberikan berbagai macam dampak buruk bagi negara yang 'tertular' fenomena ini.
Tak ayal fenomena resesi seks ini juga membuat pemerintah Thailand dibuat pusing. Bahkan Menteri Pembangunan Sosial dan Keamanan Manusia, Varawut Silpa-archa, menyebut penurunan populasi ini akan menimbulkan risiko serius bagi angkatan kerja Thailand, menurunkan aktivitas ekonomi, keamanan, serta kesejahteraan umum penduduk Thailand.
"Thailand memerlukan kebijakan komprehensif untuk mengatasi potensi tantangan ekonomi dan sosial yang disebabkan oleh perubahan struktur populasi," kata Varawut dalam sebuah seminar sebagaimana dikutip dari Nation Thailand, Selasa (19/3/2024).
Varawut menjelaskan generasi muda Thailand banyak yang tidak menginginkan anak karena berbagai alasan mulai dari mahalnya biaya perumahan/hunian dan transportasi hingga biaya hidup secara umum.
Selain itu, kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19 juga dinilai berkontribusi pada keputusan para generasi muda Negeri Gajah Putih itu untuk tetap melajang dan tidak memiliki anak.
Pada akhirnya sebagian besar masyarakat negara itu memilih untuk tidak memiliki anak karena ketidakpastian ekonomi, biaya hidup, perubahan pola kerja, hingga jumlah pendapatan yang tidak konsisten. "Pada akhirnya, ini bukan hanya soal membuat dua individu hidup bersama untuk menghasilkan bayi," katanya.
Padahal jika masalah demografi ini terus berlanjut, Varawut memprediksi proporsi anak-anak di Thailand akan turun menjadi 14,3% dan populasi lansia akan meningkat menjadi 29,85% pada 2037 mendatang.
Ia juga mengingatkan populasi negara itu bisa turun sekitar 50% (menjadi hanya sekitar 32 juta jiwa) dalam 60 tahun ke depan jika permasalahan ini tidak lekas diselesaikan.
Tidak hanya itu, menurut Varawut masalah ini tidak hanya mempengaruhi penurunan populasi negara. Sebab fenomena resesi seks ini juga dinilai menjadi salah satu faktor pencegah negara itu 'naik kelas' jadi negara dengan perekonomian berpendapatan tinggi.
"Dengan berkurangnya angkatan kerja, dunia usaha dan pasar akan menyusut, produktivitas akan menurun dan pada akhirnya, Thailand akan terjebak dalam perangkap negara berpendapatan menengah, dengan sedikit kemajuan sosial dan ekonomi," terangnya.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Varawut meminta kepada masyarakat Thailand untuk memiliki lebih banyak anak guna meningkatkan jumlah populasi, dan pada akhirnya meningkatkan produktivitas.
"Kementerian akan meluncurkan buku putih berjudul 'Membangun Keluarga Thailand untuk Memperkuat Keamanan Manusia', yang akan disampaikan kepada Kabinet bulan depan. Buku putih ini juga akan ditampilkan pada sesi ke-57 Komisi Kependudukan dan Pembangunan PBB yang diselenggarakan pada tanggal 29 April hingga 3 Mei nanti," jelas Varawut.
(fdl/fdl)