Ada Cuti Melahirkan 6 Bulan, Pengusaha Ngeluh Produktivitas Bisa Turun

Ada Cuti Melahirkan 6 Bulan, Pengusaha Ngeluh Produktivitas Bisa Turun

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Minggu, 07 Jul 2024 22:30 WIB
Cuti melahirkan 6 bulan yang tertuang dalam RUU KIA telah disepakati oleh DPR untuk dibahas lebih lanjut menjadi Undang-Undang. Berikut informasinya.
Ilustrasi (Foto: Getty Images/iStockphoto/Mykola Sosiukin)
Jakarta -

Ramai-ramai pengusaha mengeluhkan aturan baru cuti melahirkan maksimal 6 bulan yang tercantum dalam UU nomor 4 tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan. Pengusaha sepakat aturan ini dapat menurunkan produktivitas perusahaan.

Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik Apindo Danang Girindrawardana mengatakan jangka waktu cuti yang terlalu panjang akan menyulitkan pengusaha. Pasalnya, mempersiapkan pengganti seorang pekerja yang cuti panjang tidak mudah. Hal ini akan menimbulkan masalah produktivitas usaha yang menurun.

"Jangka waktu cuti yang panjang itu tentu menyulitkan pengusaha. Karena kami harus mempersiapkan pengganti selama cuti panjang, dan ini menimbulkan masalah-masalah produktivitas," beber Danang kepada detikcom, Minggu (7/7/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia juga mengatakan kerugian akan diterima seorang pekerja bila menjalankan cuti yang terlalu lama waktunya. Bisa saja, seorang karyawan tidak mendapatkan insentif atau bonus yang nilainya cukup besar daripada gajinya bila harus cuti berkepanjangan.

"Kami yakin, bahwa pekerja juga merasa kurang nyaman dan kurang safety kalau cuti terlalu lama. Kalau cuti, pekerja tidak mendapatkan bonus atau insentif yang kadang juga nilainya signifikan untuk take home pay mereka," sebut Danang.

ADVERTISEMENT

Sementara itu, Ketua Umum KADIN Daerah Khusus Jakarta Diana Dewi menyatakan pihaknya menolak kebijakan cuti melahirkan 6 bulan ini. Menurutnya, di dunia kerja seseorang baik laki-laki maupun perempuan dituntut untuk profesional dan memiliki produktivitas tinggi.

Bila cuti terlalu lama diizinkan, hal ini dapat mengurangi produktivitas pekerja itu sendiri. Dia menyarankan utusan cuti melahirkan lebih baik diserahkan kepada masing-masing perusahaan.

Menurutnya, setiap perusahaan pasti akan mempertimbangkan kondisi pekerjanya juga. Tidak serta-merta melarang pekerja perempuan yang melahirkan untuk melakukan cuti.

"Baiknya, persoalan seperti itu diserahkan kepada masing-masing perusahaan saja. Mekanismenya bisa dibahas secara internal dan disesuaikan dengan kebutuhan dan para pihak yang sama-sama punya kepentingan. Saya yakin, masing-masing perusahaan akan punya pertimbangan bijak terkait hal tersebut," beber Diana kepada detikcom.

Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menambahkan cuti terlalu panjang tidak cukup baik juga untuk posisi seorang pekerja. Bisa jadi, ketika dia cuti posisinya digantikan orang lain dan ketika kembali bekerja dia mengalami kekosongan jabatan.

"Posisinya akan digantikan oleh orang lain karena tidak mungkin perusahaan menunggu sampai 6 bulan, jadi kemungkinan dia masuk sudah tidak ada bangku lagi," ungkap Hariyadi.

Ke depan, menurutnya perusahaan khususnya yang memiliki tenaga kerja besar di atas 200 orang akan mulai mengubah pola rekrutmen karyawannya. Laki-laki akan lebih dipilih untuk direkrut.

Kalaupun merekrut perempuan, menurutnya perusahaan akan memberikan kontrak dan tidak dijadikan karyawan tetap. Kemudian diberikan perjanjian apabila karyawan itu menikah dan hamil maka kontrak akan hangus.

(hal/das)

Hide Ads