Badan Anggaran (Banggar) DPR RI menyetujui defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 menjadi sebesar Rp 609,7 triliun atau setara dengan 2,70% terhadap produk domestik bruto (PDB). Jumlah itu naik dari target awal Rp 522,8 triliun atau setara 2,29% PDB.
"Apakah laporan realisasi semester I dan prognosis semester II APBN 2024 dapat disetujui dan menjadi kesimpulan rapat kerja Banggar dengan pemerintah dan Bank Indonesia?" kata Wakil Ketua Banggar Cucun Ahmad Syamsurijal, Selasa (9/7/2024).
"Setuju," jawab anggota rapat yang diikuti dengan ketuk palu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kesempatan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa keuangan negara atau APBN sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian global yang masih lemah, masih berlanjutnya tensi geopolitik dan tren suku bunga global yang tinggi seiring dengan kebijakan higher for longer.
Meski begitu, Sri Mulyani mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga saat ini masih terjaga baik, sejalan dengan laju inflasi yang terjaga rendah. Di sisi lain, nilai tukar rupiah mengalami deviasi pada level Rp 15.901 per dolar Amerika Serikat (AS) secara rata-rata pada semester I-2024.
Tingkat imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun juga mengalami tekanan, yang tercatat pada level 6,85% secara rata-rata pada semester I-2024 akibat kebijakan suku bunga higher for longer di tingkat global.
Banggar DPR RI menyetujui sejumlah tambahan belanja pemerintah untuk semester II-2024, salah satunya alokasi anggaran Rp 11 triliun sebagai perpanjangan bantuan pangan beras untuk periode 3 bulan yakni Agustus, Oktober dan Desember 2024.
Penambahan alokasi anggaran untuk subsidi pupuk juga disetujui sebesar Rp 24 triliun, serta realisasi pinjaman luar negeri yang meningkat. Lebih lanjut, Banggar DPR RI juga menyetujui penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp 100 triliun untuk menutup defisit anggaran akibat penambahan berbagai belanja tersebut.
"Untuk itu, akan digunakan SAL tahun sebelumnya Rp 100 triliun dan tambahan defisit yang berasal dari pinjaman luar negeri tentu tidak membutuhkan pembiayaan dalam bentuk SBN, sehingga penerbitan SBN justru bisa ditekan menurun," kata Sri Mulyani.
(aid/fdl)