Hal lain yang disoroti adalah target penerimaan negara sebesar Rp 2.997, yang mana Rp 2.490 triliun di antaranya berasal dari pajak. Didik menilai target tersebut masih feasible, sebab angkanya tidak jauh dari target tahun lalu sebesar Rp 2.802 triliun, yang Rp 2.309 triliun di antaranya berasal dari penerimaan pajak.
Namun ia menyoroti pemerintah yang disebutnya masih pesimis soal target penerimaan pajak pada anggaran belanja tahun 2024 akan bisa dicapai. Apalagi, kata dia, pada tahun 2025 tantangan yang dihadapi jauh lebih besar.
"Janji kampanye yang menuntut pengeluaran besar, sementara penerimaan pajak tidak bisa digenjot lebih dari kapasitasnya sekarang," sebut dia.
Menurutnya kondisi sekarang cukup berat, tercermin dari daya beli masyarakat yang turun. Selain itu kelas menengah juga berat kondisinya dan bahkan turun kelas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Target ini sulit atau bahkan tidak bisa dicapai jika ekonomi tumbuh stagnan di bawah atau di sekitar 5 persen dan tidak sesuai janji kampanye presiden terpilih yang akan tumbuh lebih tinggi lagi," sebutnya.
"Tidak usah seperti janji kampanye pertumbuhan ekonomi 8 persen, jika pertumbuhan ekonomi bisa didorong 6-6,5 persen, maka sasaran penerimaan pajak tersebut bisa dicapai," tambah Didik.
Jadi, faktor ekonomi makro pertumbuhan ekonomi, investasi dan iklim investasi serta kegiatan perdagangan, terutama ekspor, akan menentukan tercapainya target penerimaan pajak. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi bisa dicapai jika ada kebijakan makro struktural, yang mana investasi dan ekspor bisa didorong menjadi lokomotifnya.
(ily/hns)